Selasa, 31 Agustus 2010

http//mediaisnet.org/v01/islam/baru/mengapa/toc.html

INFO MUDIK

Untuk para pemudik yang melewati jalur JATIWANGI harap hati2 pada H-5 atau pada hari minggu mungkin akan ada kemacetan karena pada H-5 ada acara musik dan bazzar ramadhan di alun-alun jatiwangi mungkin akan menyebabkan kemacetan karena letaknya dipinggir jalur BANDUNG-CIREBON.
Dan pada H-2 atau hari rabu ada pasar tumpah di pasar ciborelang kec.jatiwangi,yang tiap tahunnya selalu jadi pangkal kemacetan di jalur BANDUNG-CIREBON,untuk solusinya untuk yang mau mudik kedaerah timur bisa mengambil jalur alternatif lewat KADIPATEN-MAJALENGKA-RAJAGALUH-SUMBER, atau jalur JATIWANGI-SUKAHAJI-RAJAGALUH-SUMBER,info ini mudah-mudahan bermanfaat bagi yang mau mudik.

Senin, 30 Agustus 2010

PERSIB DI INTERISLAND CUP

interisland cup atau kejuaraan antar pulau di ikuti oleh 6 klub dan dibagi 2 grouf,untuk grouf A diselenggarakan di malang yg dihuni oleh arema(jawa),psm(sulawesi)dan persiwa(papua),sedangkan untuk grouf A sriwijaya fc(sumatra) sebagai tuan rumah,dan persib(jawa),persiba(kalimantan). Pertandingan pertama persib menghadapi persiba dengan skor 3-2 untuk persib,dalam pertandingan ini persib tidak diperkuat 5 pemain intinya yang lagi mengikuti pelatnas,kelima pemain itu markus(penjaga gawang),maman abdurahman(bek),nova arianto(bek),eka ramdani(tengah),dan atep(tengah).
Walaupun hanya menurunkan pemain mudanya dan pemain seleksi tapi persib maen cukup lumayan bagus,cuman lini pertahanan yang kurang kuat karena diisi oleh para pemaen muda yang kalah pengalaman sama penyerang2 persiba seperti aldo bareto.
Dalam pertandingan ini crishtian gonzakez bermain cukup baek dan layak untuk terus bermain untuk persib tapi tetep keputusan ada di tangan pelatih darko.
untuk pertandingan selanjutnya persib akan menghadapi sriwijaya fc pada hari rabu.

Minggu, 29 Agustus 2010

lembur kuring

nami desana burujul kulon,tepatnamah dusun cipinang,desa burujul kulon kec.jatiwangi,kab.majalengka,ari wates-wates burujul kulon teh,palih wetan sareng desa burujul wetan,palih kidulna sareng desa ranji,mun palih kulona sareng desa gunung sari,palih kalerna sareng desa baturuyuk.
pakasaban warga burujul kulon aya nu damel dipabrik keunteng,patani,pagawe pamarentahan,pangusaha jsb.ari seuseurnamah warga burujul kulon teh pakasabana teh ka nu pabrik keunteng/jebor sareng nu kakait patalina sareng pabrik kenteng/jebor diantawisna supir,agen,suplayer.
ari patani diburujulkulon mah patani tadah hujan yaeta mung 2kali dina sataun soalna pangairana henteu nganggo irigasi tapi ti cai hujan,musim tanam ka hiji ku pare nu kadua mah biasa ku palawija,mun usum halodo eta sawah henteu dipeulakan tapi di candakan tanehna kanggo bahan dasar keunteng.
fasilitas pendidikan nu aya diburujulkulon teh mung aya sd sareung hiji smp swasta yaeta smp muhammadiyah.
Burujulkulon teh dibagi-bagi deu jadi dusun2 nyaeta:
1.cipinang
2.ciporang
3.cinancang
4.ciwalur
5.cibadak
6.cibogo

Senin, 23 Agustus 2010

keutamaan surah yassin

“Sesungguhnya setiap sesuatu ada hatinya, dan sesungguhnya hati al Quraan adalah (Yaasin), barang siapa yang membacanya; seolah-olah dia telah membaca al Qur`aan sepuluh kali.”

Hadits ini dikeluarkan oleh at Tirmidziy (4/46), ad Daarimiy (2/456) dari jalan Humeid bin `Abdirrahman dari al Hasan bin Shoolih dari Haarun Abi Muhammad dari Muqaatil bin Hibbaan dari Qataadah dari Anas marfuu`an. Berkata at Tirmidziy: “Hadist ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini, sedang Haarun abu Muhammad majhuul (tidak dikenal), pada bab ini juga dari Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih, sebab sanadnya lemah, dan pada bab ini juga dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu.”

Jadi hadits tersebut memanglah hadits dha’if atau lemah, tetapi tidak sampai maudhu’ atau palsu. Bahkan At-Tarmidzi mengatakan bahwa hadits itu hasan gharib. Dalam hal fadhilah atau keutamaan suatu amal, hadits dha’if masih dapat dipakai. Karena hadits dha’if itu masih dianggap hadits atau perkataan Rasulullah SAW, hanya saja jalur periwayatannya kurang kuat. Hadits dha’if ini masih diambil sebagai hadits. Barangsiapa menyebut hadits dha’if sebagai hadits palsu, berarti ia telah mendustakan Rasul. Hadits dha’if adalah perkataan Rasul, barangsiapa mendustakannya, berarti mendustakan perkataan Rasul. Barangsiap mendustakan perkataan Rasul, maka bersiaplah atas tempatnya di neraka.

Dari Jundub radhiallahu `anhu berkata: berkata Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam: “Barang siapa yang membaca “Yaasin” pada malam hari mencari Wajah Allah, Allah Tabaaraka wa Ta`aala mengampuni dosanya.”

Berkata asy Syaikh al Albaaniy: Hadist ini diriwayatkan oleh Maalik dan Ibnu as Sunniy dan Ibnu Hibban dalam “Shohih”-nya (6/312 no.2574), at Thobaraaniy di “al Mu`jamus Shoghiir” (1/149) dan “al Ausath” (4/21 no.3509).

“Hati al Qur`aan adalah “Yaasin”, tidaklah membacanya seorang lelaki yang menginginkan Allah dan kehidupan akhirat; kecuali Allah Ta`aala akan memberikan ampunan baginya, bacakanlah “Yaasin” itu atas orang yang meninggal diantara kalian.”

Asy Syaikh al Albaaniy telah berkata: “Hadist ini dho`if (lemah), diriwayatkan oleh: Ahmad, Abu Daawud, an Nasaaiiy dan lafadz ini bagi an Nasaaiiy, dan Ibnu Maajah, dan al Haakim dan dishohihkan olehnya.”

Bahkan seorang salafy gigih seperti Al-Albani pun menyebut hadits ini lemah. Lalu mengapa para pengikutnya begitu keras berkata bahwa hadits-hadits ini adalah palsu? Bahkan Al-Hakim mengatakan bahwa hadits tersebut adalah shahih.

Wallahu a’lam.

man dalilnya?


Kaum sempalan sering menebarkan syubhat-syubhat kepada ummat dengan menggunakan kata-kata seperti, “Mana dalilnya?” atau “Itu bid’ah.” atau “Itu hadits palsu.” dan sebagainya. Ketahuilah, perbuatan mereka itu sangat disenangi oleh para missionaris. Karena perbuatan seperti itu akan memecah-belah ummat. Kita semua tahu bahwa ummat telah berjalan dalam sunnah-sunnah yang baik, dalam kebiasaan-kebiasaan yang baik. Namun kaum sempalan ini datang untuk menebarkan keraguan atas kebiasaan-kebiasaan yang baik ini. Mereka mengajak ummat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang baik ini. Padahal kebiasaan-kebiasaan baik ini sangat bermanfaat untuk syiar. Betapa senangnya missionaris Kristen ketika melihat syiar Islam menjadi padam dan ummatnya terpecah-belah. Siapa penyebab semua itu? Kaum sempalan yang fanatik kepada ustadz-ustadz mereka. Jika kita tanyakan kepada mereka mana dalilnya, niscaya mereka tidak menemukan dalil kecuali dalil yang telah dipelintir tafsirannya. Atau mereka dasarkan pemikiran mereka itu kepada kata-kata ustadz mereka yang sanad ilmu dari ustadz-uztadz mereka tidak bersambung kepada salaful ummah, sehingga sering salah dalam menafsirkan ayat dan hadits. Sekarang, inilah dalil kami.

Membaca Yaa Siin

“Sesungguhnya setiap sesuatu ada hatinya, dan sesungguhnya hati al Quraan adalah (Yaasin), barang siapa yang membacanya; seolah-olah dia telah membaca al Qur`aan sepuluh kali.”

Hadits ini dikeluarkan oleh at Tirmidziy (4/46), ad Daarimiy (2/456) dari jalan Humeid bin `Abdirrahman dari al Hasan bin Shoolih dari Haarun Abi Muhammad dari Muqaatil bin Hibbaan dari Qataadah dari Anas marfuu`an. Berkata at Tirmidziy: “Hadist ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini, sedang Haarun abu Muhammad majhuul (tidak dikenal), pada bab ini juga dari Abu Bakr as Shiddiiq, tidak shohih, sebab sanadnya lemah, dan pada bab ini juga dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu.”

Jadi hadits tersebut memanglah hadits dha’if atau lemah, tetapi tidak sampai maudhu’ atau palsu. Bahkan At-Tarmidzi mengatakan bahwa hadits itu hasan gharib. Dalam hal fadhilah atau keutamaan suatu amal, hadits dha’if masih dapat dipakai. Karena hadits dha’if itu masih dianggap hadits atau perkataan Rasulullah SAW, hanya saja jalur periwayatannya kurang kuat. Hadits dha’if ini masih diambil sebagai hadits. Barangsiapa menyebut hadits dha’if sebagai hadits palsu, berarti ia telah mendustakan Rasul. Hadits dha’if adalah perkataan Rasul, barangsiapa mendustakannya, berarti mendustakan perkataan Rasul. Barangsiap mendustakan perkataan Rasul, maka bersiaplah atas tempatnya di neraka. Jika mereka mendustakan hadits ini karena ustadz-ustadz mereka berkata demikian, maka bersiaplah untuk masuk ke dalam neraka bersama ustadz-ustadz mereka. Bersiaplah mereka untuk masuk ke neraka bersama orang-orang yang mereka ikuti secara buta.

Membaca Qur`an Di Pequburan

Dari ibnu ‘Umar : Saya mendengar Rasulallah SAW berkata : “Jika seseorang diantara kalian meninggal, maka jangan ditahan (diinapkan). Dan cepatlah dimakamkan. Bacakanlah di quburnya itu surat fatihah di atas kepalanya. Adapun di kedua kakinya, bacakanlah akhir surat Al-Baqarah.” [Ditakhrij oleh Thabrany dan Baihaqi dalam bab Sya’bul Iman, dan isnadnya hasan sebagamana dikatakan oleh al-Hafizh dalam Fat-hnya (Fat-hul Mughits). Dan dalam satu riwayat dengan perkataan: "bifatihatil baqarah" (5 ayat pertama Al-Baqarah) sebagai pengganti dari "fatihatilkitab" (Al-Fatihah).]

Apa dalil mereka yang mengatakan bahwa membaca Al-Qur`an di qubur itu adalah bid’ah? Mana dalil mereka? Tidak lain, dalil mereka hanyalah perkataan ustadz-ustadz mereka. Agama mereka sangatlah cocok dikatakan sebagai agama “qola ustadz”.

Dzikir Berjama’ah Secara Jahr

Sayyidina Abdullah bin Abbas ra berkata, “Sesungguhnya mengangkat suara dalam dzikir ketika orang-orang telah selesai dari shalat fardhu itu terjadi pada masa Rasulullah SAW.” [HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rah.a mengatakan dalam Fat-hul Bari, “Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah mendirikan shalat.”

Adapun hadits “Irba’uu ‘alaa anfusikum fa innakum laa tad’uuna ashomma wa laa ghaa-iba” menjelaskan larangan mengangkat suara ketika berdzikir sambil berjalan-jalan dan bukan ketika berjama’ah di suatu majelis. Jika menjahr dzikir itu di larang, lalu bagaimana dengan takbiran yang dilakukan pada hari ‘Id?

Terdapat banyak hadits yang berkenaan dengan masalah ini, diantaranya ialah sabda Rasulullah SAW, “Suatu kaum tidak berkumpul di rumah-rumah Allah (Masjid-Masjid) dan berdzikir kepada Allah Ta’ala dengan (ikhlash) mengharapkan keridhoan-Nya, melainkan Allah mengampuni segala dosa mereka dan akan merubah semua kejahatan mereka menjadi kebaikan.”

Sabdanya lagi, “Suatu kaum tidak duduk bersama-sama berdzikir kepada Allahu Ta’ala, melainkan para Malaikat mengelilingi mereka, sedang rahmat meliputi mereka, dan ketenangan turun atas mereka. Dan Allah menyebut nama mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya.”

Merayakan Maulidur Rasul

Tentang keistimewaan hari lahir Nabi saw, terdapat hadits shahih dari Abi Qatadah, beliau menceritakan bahwa seorang A’rabi (Badawi) bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana penjelasanmu tentang berpuasa di hari Senin?” Maka Rasulullah saw menjawab, “Ia adalah hari aku dilahirkan dan hari diturunkan kepadaku Al-Qur’an.” [Syarh Shahih Muslim An-Nawawi 8 / 52]

Maka merayakan dan bergembira atas lahirnya Rasul bukanlah perkara baru yang ditambah-tambahkan. Bahkan Allah menyuruh kita untuk bergembira atas karunia dari-Nya. Lahirnya Rasulullah adalah termasuk karunia terbesar bagi kita. Maka sunnahnya merayakan kelahiran Rasul tidak bisa dibantah hanya dengan perkataan ustadz-ustadz ekstrim (ghuluw). Agama kita bukanlah agama ‘qola ustadz’, tetapi ‘Qolallahu wa qolarrasul’. Dan tidak pernah Allah atau pun Rasul-Nya menyuruh kita untuk bersedih atas wafatnya Rasul kelak.

Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: 58]

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiya: 107]

Pembagian Bid’ah

Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw: “Barangsiapa membuat-buat kebiasaan baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya. Dan barangsiapa membuat-buat kebiasaan baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya.” [Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi]

Diantara bid’ah dholalah adalah penafi’an atas sunnah dan hadits. Ketika Rasul membolehkan adanya kebiasaan baru yang baik, lalu mereka berkata, “Tidak ada yang namanya bid’ah hasanah. Jika memang hal itu baik, niscaya para salaful ummah telah melakukannya,” artinya mereka menolak adanya bid’ah hasanah, maka jelaslah bahwa mereka telah menafi’kan sunnah Rasul yang membolehkan bid’ah hasanah. Termasuk bid’ah dholalah adalah menafi’kan dzikir berjama’ah yang telah nyata dilakukan di masa Rasul.

Penafi’an terhadap hadits dan sunnah Rasul, penafi’an terhadap dzikir berjama’ah adalah suatu perkara baru yang sangat buruk. Dan segala perkara baru seperti ini, tentulah tidak dicontohkan oleh Rasul dan shahabat. Perkara baru seperti ini tentulah tidak diridhoi oleh Allah. Maka segala perkara baru seperti ini adalah sesat, dan segala yang sesat itu di neraka. Maka mereka dapat terjerumus ke dalam neraka jika mereka tidak bertobat dari mendustakan Rasul dan tidak bertobat dari bid’ah dholalah. Mendustakan Rasul dan menafi’kan sunnah adalah perkara baru yang sangat buruk sekali. Tidak ada salaful ummah yang menafi’kan sunnah atau pun mendustakan Rasul. Jika mereka mengaku sebagai pengikut salafush shalih, maka itu adalah pengakuan kosong tanpa bukti.

Tawassul dengan Nabi

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” [QS. Al-Isra’: 57]

Nabi Isa dan Nabi Uzair juga mencari jalan kepada Allah, mereka mencari siapa di antara para nabi yang lebih dekat kepada Allah. Siapa yang lebih dekat kepada Allah?

Dari Umar ra. Ia berkata: Rasulullah SAAW bersabda, “Tatkala Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Rabbku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad akan dosa-dosaku, agar Engkau mengampuniku.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana kamu mengenal Muhammad sedang Aku belum menciptakannya (sebagai manusia) ?” Adam menjawab: “Wahai Rabbku, tatkala Engkau menciptakanku dengan Tangan-Mu dan meniupkan ruh-Mu ke dalam diriku, maka Engkau Mengangkat kepalaku, lalu aku melihat di atas kaki-kaki arsy tertulis ‘Laa Ilaaha illallaah Muhammadur Rasuulullaah’ sehingga aku tahu bahwa Engkau tidak menambahkan ke dalam Nama-Mu kecuali makhluq yang paling Engkau cintai.” Lalu Allah Berfirman: “Benar engkau wahai Adam, sesungguhnya Muhammad adalah makhluq yang paling Aku cintai, berdoalah kepadaku dengan haq dia, maka sungguh Aku Mengampunimu. Sekiranya tidak ada Muhammad, maka Aku tidak menciptakanmu.” [HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz 2 halaman 615, dan beliau mengatakan shahih. Juga Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Ibnu Taimiyah mengutipnya dalam kitab Al-Fatwa juz 2 halaman 150, dan beliau menggunakannya sebagai tafsir/penjelasan bagi hadits-hadits yang shahih]

Bahwasanya Nabi SAAW pernah berdo’a dengan mengatakan, “Dengan haq Nabi-Mu dan Nabi-Nabi sebelum aku.” [HR. Imam Thabrani]

Mengirim Pahala bagi Mayyit

Diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah SAAW, saya mempunyai ibu bapak yang selagi mereka hidup, saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?” Ujar Nabi SAAW, “Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu!”

Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a katanya: Seorang wanita telah datang menemui Rasulullah s.a.w dan berkata: Ibuku telah meninggal dunia dan masih mempunyai puasa ganti selama sebulan. Baginda bertanya kepada wanita itu dengan sabdanya: Bagaimana pendapatmu jika ibumu itu masih mempunyai hutang, adakah kamu akan membayarnya? Wanita itu menjawab: Ya. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: Hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk dibayar. (HR. Bukhori dan Muslim)

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAAW, “Ayahku meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?” Ujar Nabi SAAW, “Dapat!” [HR. Ahmad, Muslim dari Abu Hurairah]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAAW lalu bertanya, “Ibuku bernadzar akan melakukan hajji, tapi belum juga dipenuhinya sampai ia meninggal. Apakah akan saya lakukan hajji itu untuknya?” Ujar Nabi SAAW, “Ya, lakukanlah! Bagaimana pendapatmu jika ibumu berhutang, adakah kamu akan membayarnya? Bayarlah, karena Allah lebih berhak untuk menerima pembayaran.” (HR. Bukhori)

Berkata Ibnu Al-Qayyim, “Ibadah itu dua macam, yaitu mengenai harta dan badan. Dengan sampainya pahala sedekah, syara’ mengisyaratkan sampainya pada sekalian ibadah yang menyangkut harta, dan dengan sampainya pahala puasa, diisyaratkan sampainya sekalian ibadah badan (badaniyah). Kemudian dinyatakan pula sampainya pahala hajji, suatu gabungan dari ibadah maliyah (harta) dan badaniyah. Maka ketiga macam ibadah itu, teranglah sampainya, baik dengan keterangan nash maupun dengan jalan perbandingan.”

Imam Nawawi mengutip penegasan Syaikh Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyyah yang menegaskan: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa seseorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia menyimpang dari ijma’ para ulama dan dilihat dari berbagai sudut pandang, keyakinan demikian itu tidak dapat dibenarkan.”

dzikir bersama

Ketika saya hadir dalam acara dzikir bersama di masjid Istiqlal Jakarta tgl. 18 Agustus 2003, banyak telepon dan SMS ke handphone saya, yang menanyakan, menyesalkan, mengkritik dan mencerca tindakan saya menghadiri majelis tersebut. Namun ada pula yang senang dan gembira dengan penampilan saya di majelis tersebut. Dengan berbagai sorotan antara pro dan kontra terhadap kehadiran saya di majelis tersebut, saya merasa perlu untuk memberi keterangan di majalah yang kita sayangi ini, berbagai masalah yang mengganjal pikiran banyak orang. Semoga Allah membukakan hati kita untuk melihat yang benar itu adalah kebenaran dan kita diberi kekuatan untuk mengikutinya dan yang salah itu adalah salah serta kita diberi kekuatan untuk menjauhinya.

MAJELIS DZIKIR DAN HALAQAH DZIKIR DALAM HADITS-HADITS NABI SHALLALLAHU `ALAIHI WA ALIHI WASALLAM

Terdapat beberapa hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang memberitakan keutamaan majelis-majelis dzikir dan halaqah-halaqah dzikir di sisi Allah Ta`ala. Juga hadits-hadits tersebut memberitakan adanya halaqah-halaqah dzikir di kalangan para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam di masa hidupnya Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Hadits-hadits itu antara lain adalah sebagai berikut:

1). Keutamaan majelis dzikir:

Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang berputar-putar di jalan-jalan untuk mencari orang-orang yang berdzikir. Maka bila mereka mendapati satu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, maka mereka pun saling panggil-memanggil dengan menyatakan: Kemarilah kalian karena di sini ada yang kalian cari.”

Selanjutnya Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam menceritakan: “Maka para Malaikat itu merendahkan sayap-sayap mereka, demikian bertumpuk-tumpuk sampai ke langit terdekat (dengan bumi).”

Kata Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam : “Maka Tuhan mereka Yang Maha Agung dan Maha Mulia menanyai mereka –dan Dia lebih tahu dari mereka–: “Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?” Maka para malaikat itu menjawab: “Mereka bertasbih kepada-Mu (yakni mengucapkan subhanallah ), dan mereka bertakbir kepada-Mu (yakni mengucapkan Allahu akbar ), dan mereka bertahmid kepada-Mu (yakni mengucapkan alhamdulillah ), dan mereka mengagungkan Engkau.”

Kemudian Allah menanyai mereka para malaikat itu: “Apakah mereka yang berdzikir itu pernah melihat Aku?” Para Malaikat pun menjawab: “Tidak, demi Allah mereka tidak pernah melihat Engkau.” Allah menanyakan lagi: “Bagaimana seandainya mereka melihat Aku.” Maka para Malaikat pun menyatakan: “Seandainya mereka melihat Engkau, niscaya ibadah mereka kepada-Mu akan lebih kuat, dan mereka akan lebih kuat semangatnya dalam mengagungkan-Mu, dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.”

Kemudian Allah menanyai para malaikat itu: “Maka apakah yang diminta dari-Ku?” Para malaikat pun menjawab: “Mereka meminta dari-Mu surga.” Allah bertanya lagi kepada para Malaikat-Nya: “Apakah mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Tidak pernah mereka melihatnya demi Allah wahai Tuhan.” Selanjutnya Allah bertanya lagi: “Bagaimana pula kalau mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Seandainya mereka pernah melihatnya, niscaya mereka akan lebih besar keinginannya untuk mendapatkannya, dan lebih kuat semangatnya untuk memintanya serta lebih semangat untuk mencapainya.” Allah bertanya lagi: “Dan apakah yang mereka berlindung daripadanya?” Para Malaikat itu menjawab: “Mereka memohon perlindungan kepada-Mu dari api neraka.” Ditanyakan pula oleh-Nya: “Apakah mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Tidak, demi Allah mereka belum pernah melihatnya.” Kemudian Allah menanyakan lagi: “Bagaimana pula kalau seandainya mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Mereka akan lebih kuat semangat larinya dan akan lebih takut daripadanya.” Maka Allah menyatakan kepada para Malaikat itu: “Aku jadikan kalian sebagai saksi, bahwa Aku mengampuni dosa-dosa mereka.” Maka berkatalah salah satu dari para Malaikat itu: “Di majelis dzikir itu ada si fulan yang sesungguhnya bukan dari mereka yang berdzikir itu. Dia datang ke majelis itu untuk satu keperluan.” Allah-pun menjatakan: “Mereka itu adalah majelis yang tidak akan celaka siapa pun yang duduk di majelis itu.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya, lihat Fathul Bari juz 11 hal. 208 no hadits 6408 Kitabud Da’awaat bab Fadl-lu Dzikrillahi `Azza wa Jalla )

2). Halaqah dzikir yang dilakukan oleh para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan dipuji oleh beliau shallallahu `alaihi wa alihi wasallam :

Abu Said Al-Khudri radliyallahu `anhu menceritakan: Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah keluar dari rumahnya menuju masjid, dan mendapati di masjid itu halaqah (posisi duduk segerombol orang dengan formasi lingkaran). Maka Mu’awiyah menanyai mereka: “Untuk apa kalian duduk-duduk di sini?” Mereka pun menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah.” Mua’wiyah pun mengulang pertanyaannya sembari memastikan: “Demi Allah kalian tidak duduk di sini kecuali untuk itu?” Mereka pun menjawab: “Demi Allah, kami tidak duduk di sini kecuali untuk itu.” Maka Mu’awiyah menyatakan kepada mereka: “Tidaklah aku meminta kalian bersumpah karena aku mencurigai kejujuran kalian. Dan tidaklah ada seorang pun yang kedudukannya dekat dengan Nabi yang lebih sedikit dariku dalam meriwayatkan hadits Nabi. Dan sesungguhnya Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam pernah di suatu hari keluar dari kamarnya ke masjid beliau dan mendapati satu halaqah dari para Shahabat beliau. Maka beliau pun menanyakan kepada mereka yang duduk di halaqah itu: ((“Mengapa kalian duduk di sini?”)) Mereka pun menjawab: ((“Kami duduk di sini adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bertahmid kepada-Nya karena Dia telah menunjuki kami kepada Islam dan telah memberi kami kenikmatan dengan agama ini.”)).

Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam mengatakan kepada mereka: ((“Demi Allah kalian tidak duduk di sini kecuali untuk keperluan itu?”)). Maka merekapun segera menjawab: ((“Demi Allah kami tidak duduk di sini kecuali untuk keperluan tersebut.”)). Setelah mendapat jawaban demikian beliau pun menyatakan kepada mereka: ((“Ketahuilah, sesungguhnya aku tidaklah meminta kalian bersumpah karena aku mencurigai kalian. Akan tetapi, telah datang kepadaku malaikat Jibril. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia telah berbangga dengan majelis kalian di hadapan para Malaikat-Nya.” (HR. Muslim dalam Shahih nya juz 17 hal. 190 Kitab Adz-Dzikir wad Du’a wat Taubah wal Istighfar , Bab Fadl-lul Ijtima’ `ala Tilawatil Qur’an wa `ala Adz-Dzikri . Hadits ke 2701/40).

3). Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam Memerintahkan Kita untuk Duduk di Halaqah-Halaqah Ddzikir

“Apabila kalian melewati taman-taman surga, maka hendaklah kalian bersenang-senang padanya.” Para Shahabat beliau bertanya: “Wahai Rasulallah, apakah yang engkau maksud dengan taman-taman surga?” Beliau pun menjawabnya: “Halaqah-halaqah dzikir.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya juz 5 hal. 498 Kitabud Da`awat bab Ma Ja`a fi Aqdit Tasbih bil Yadi no hadits 3510 dari Anas bin Malik radliyallahu `anhu )

Demikianlah tiga hadits dari sekian banyak hadits shahih yang menegaskan keutamaan majelis dzikir dan adanya majelis dan halaqah dzikir di kalangan para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Bahkan Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam memerintahkan untuk ikut duduk di halaqah dzikir itu.

MAKNA MAJELIS ATAU HALAQAH DZIKIR

Tentang makna majelis dzikir dan halaqah dzikir yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut di atas, telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani rahimahullah (wafat th. 852 H) dalam Fathul Bari nya jilid 11 hal. 209 sebagai berikut: “Dan yang dimaksud dengan dzikir di sini ialah membawakan lafadh-lafadh yang telah diriwayatkan anjuran untuk melafadhkannya dan memperbanyak mengucapkannya, seperti lafadh-lafadh yang dinamakan Al-Baqiyatus Shalihat, yaitu ucapan subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar , dan lafadh-lafadh yang digabungkan dengannya seperti Al-Hauqalah (yaitu ucapan La haula wala quwwata illa billah ), Al-Basmalah (yaitu ucapan bismillahir rahmanir rahim ), Al-Hasbalah (yaitu ucapan hasbunallah wani’mal wakil ), dan Al-Istighfar (yaitu ucapan astaghfirullah ) dan semisal itu serta doa meminta kebaikan dunia dan akherat. Diistilahkan dengan sebutan dzikir kepada Allah pula bila orang terus-menerus menjalankan amalan yang diwajibkan atau disunnahkan, seperti membaca Al-Qur’an dan membaca hadits, mempelajari ilmu agama, dan shalat sunnah.”

Kemudian Ibnu Hajar menambahkan di halaman 213:

“Dan dalam hadits ini terdapat keterangan yang menunjukkan keutamaan dzikir dan keutamaan orang-orang yang berdzikir. Dan juga menunjukkan keutamaan berkumpul untuk berdzikir. Diterangkan pula bahwa orang yang duduk bersama mereka yang berkumpul dalam rangka berdzikir itu adalah dianggap termasuk dari orang-orang yang berkumpul untuk berdzikir dalam segala keutamaan yang Allah berikan kepada mereka, sebagai kemuliaan bagi mereka walaupun orang yang duduk di situ tidak ikut dalam pokok amalan dzikir yang dilakukan di situ.”

BEBERAPA PENGINGKARAN PARA ULAMA’ TERHADAP MAJELIS DZIKIR DAN HALAQAH DZIKIR

Kita perlu memahami beberapa pengingkaran para Ulama’ terhadap berbagai majelis dzikir yang ada di zaman beliau-beliau itu. Agar kita mengerti duduk permasalahan yang sesungguhnya seputar masalah ini. Untuk itu saya nukilkan berbagai pengingkaran tersebut sebagai berikut :

1). Al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin Al-Fadlel bin Bahram Ad-Darimi rahimahullah (meninggal pada th. 255 H) dalam Sunan nya membawakan sebuah riwayat pengingkaran Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bernama Abdullah bin Mas’ud radliyallahu `anhu terhadap halaqah-halaqah dzikir yang ada di jaman beliau. Riwayat tersebut adalah sebagai berikut:

“Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarak, dia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Umar bin Yahya, dia mengatakan: Aku telah mendengar ayahku yang menceritakan apa yang didengarnya dari ayahnya, dia menyatakan: Kami sedang duduk di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud menjelang shalat subuh. Kebiasaannya bila beliau keluar dari rumahnya, kami pun berjalan bersamanya ke masjid untuk shalat berjama’ah di sana. Di saat kami sedang menunggu Abdullah bin Mas’ud keluar dari rumahnya, tiba-tiba datanglah Abu Musa Al-Asy’ari dan beliau bertanya kepada kami: “Apakah Abu Abdurrahman telah keluar menemui kalian?” Kami pun menjawab: “Belum.” Maka Abu Musa akhirnya duduk bersama kami di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sampai beliau keluar dari rumah untuk menuju masjid. Ketika beliau keluar, kami semua berdiri menyambutnya. Maka Abu Musa pun menyatakan kepadanya: “Wahai Aba Abdirrahman, aku barusan melihat di masjid suatu kejadian yang engkau ingkari, akan tetapi aku tidak melihatnya alhamdulillah kecuali kebaikan.” Maka beliau pun bertanya: “Apakah kejadian yang engkau maksudkan?” Abu Musa menjawab: “Bila engkau sampai di masjid engkau akan melihatnya. Aku melihat di sana ada sekelompok orang yang duduk berhalaqah-halaqah untuk menanti shalat. Pada setiap halaqah itu ada seorang pria yang memimpin mereka dan di tangan mereka ada batu kerikil. Pimpinan mereka berkata: ((“Bertakbirlah seratus kali.”)). Maka mereka pun bertakbir seratus kali. Kemudian pimpinan mereka menyatakan: ((“Bertahlillah seratus kali!”)), maka mereka pun bertahlil seratus kali. Selanjutnya pimpinan mereka menyatakan: ((“Bertasbihlah seratus kali!”)), maka mereka pun bertasbih seratus kali.” Abdullah bin Mas’ud kemudian menyatakan kepada Abu Musa: “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abu Musa menjawab: “Aku tidak berkata apapun kepada mereka, karena aku menanti pendapatmu dan perintahmu.” Ibnu Mas’ud mengatakan: “Tidakkah sebaiknya engkau perintahkan kepada mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka dan engkau katakan kepada mereka bahwa kebaikan mereka itu sesungguhnya terjamin dan tidak akan disia-siakan.” Kemudian Abdullah bin Mas’ud berjalan menuju masjid dan kami pun berjalan bersamanya. Ketika beliau masuk masjid dan mendatangi satu halaqah dari halaqah mereka itu, beliau pun berdiri di hadapan mereka sembari beliau menyatakan kepada mereka: “Perbuatan apa ini yang aku lihat sedang kalian lakukan?” Maka mereka pun menjawab: “Wahai Aba Abdir Rahman, ini adalah kerikil yang kami pakai untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih kami.” Maka Abdullah bin Mas’ud menyatakan kepada mereka: “Hendaklah kalian menghitung kejelekan-kejelekan kalian, karena kita menjamin bahwa kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang sia-sia sedikit pun. Celaka kalian wahai Ummat Muhammad, betapa cepatnya kebinasaan kalian. Para Shahabat Nabi kalian masih ada dan baju Nabi masih belum rusak dan bejana-bejana peninggalan beliau masih belum pecah. Demi yang diriku ada ditangan-Nya, sesungguhnya kalian dalam keadaan salah satu dari dua kemungkinan, apakah kalian dalam keadaan lebih baik dari agama yang diajarkan oleh Muhammad shallallahu `alaihi wa wasallam (dan yang demikian itu tidak mungkin terjadi, pent), atau kalian sedang membuka pintu kesesatan.” Mereka yang duduk di halaqah tersebut menyatakan kepada Abdullah bin Mas’ud: “Demi Allah, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan wahai Aba Abdirrahman.” Maka beliau pun menyatakan: “Betapa banyaknya orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak bisa mencapainya selama-lamanya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam telah menceritakan kepada kami bahwa akan adanya kaum yang membaca Al-Qur’an tetapi bacaannya tidak melampaui kerongkongan mereka. Demi Allah, saya tidak tahu barangkali mayoritas mereka itu adalah kalian.” Kemudian Abdullah bin Mas’ud berpaling dari mereka setelah menasehati mereka.

Amer bin Salamah berkata: “Kami melihat setelah itu bahwa mayoritas orang-orang yang duduk-duduk di halaqah-halaqah itu adalah orang-orang dari kalangan Khawarij yang memerangi kami di peperangan Nahrawan.” Demikian riwayat ini dibawakan oleh Al-Imam Ad-Darimi dalam Sunan nya jilid 1 hal. 68 – 69.

Riwayat ini menegaskan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap cara berdzikir yang ada di halaqah tersebut. Yaitu menghitung dzikir dengan batu yang dinilai oleh beliau sebagai amalan bid’ah, dan bukan pengingkaran terhadap dzikir bersama yang dilakukan padanya.

2). Al-Hafidh Al-Imam Jamaluddin Abil Faraj Abdurrahman bin Al-Jauzi Al-Baghdadi rahimahullah (wafat th. 597 H) menerangkan dalam kitab beliau Talbis Iblis halaman 393 sebagai berikut:

“Dan iblis sungguh telah menipu sebagian besar orang awam yang hadir di majelis-majelis dzikir. Mereka ikut menangis di dalamnya dan mereka menganggap bahwa hanya dengan begitu telah cukup dalam mencapai keutamaan majelis dzikir. Seandainyalah mereka tahu bahwa yang dituju dengan menghadiri majelis dzikir itu ialah untuk beramal dengan ilmu yang diterangkan padanya. Bila seseorang tidak beramal dengan ilmu yang dia dengar, maka apa yang didengarnya itu akan menjadi saksi yang memberatkannya di hari kiamat. Dan sungguh aku mengetahui adanya sekelompok orang yang menghadiri majelis-majelis dzikir sejak bertahun-tahun dan mereka menangis padanya dan mereka menghadirinya dengan penuh kekhusyu’an. Tetapi tak seorang pun dari mereka ini berubah dari kebiasaan yang biasa mereka perbuat yaitu perbuatan riba, menipu dalam berjual beli serta tidak berubah pula kejahilannya tentang rukun-rukun shalat. Juga tidak berubah dari kebiasaan ber ghibah (menggunjing) terhadap kaum Muslimin dan durhaka kepada kedua orang tua. Mereka yang demikian keadaannya itu telah ditipu oleh iblis dengan menampakkan kepada mereka bahwa menghadiri semata majelis dzikir itu dan menangis padanya akan menghapuskan dosa-dosanya. Aku berpandangan, seandainyalah mereka menghadiri majelis-majelisnya para Ulama’ dan orang-orang shalih, niscaya ia akan menggugurkan dosa-dosa mereka. Sebagian orang-orang yang hadir di majelis dzikir itu disibukkan dengan berangan-angan dalam keharusan bertaubat dari kemaksiyatan kepada Allah sehingga mereka tertunda-tunda untuk bertaubat dari dosa mereka. Sebagiannya lagi, adanya orang-orang yang menghadiri majelis dzikir itu untuk sekedar senang mendengar ungkapan yang ada padanya tetapi mereka terus-menerus saja mengabaikan keharusan beramal.”

Maka yang dikecam oleh Ibnul Jauzi disini adalah orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari majelis dzikir itu. Tidak mendapatkan tambahan ilmu dan tidak pula mendapatkan tambahan amal. Jadi bukanlah beliau mengecam majelis dzikir tersebut, tetapi yang dikecamnya adalah orang-orang yang hadir padanya tetapi tidak berubah ilmu dan amalnya kepada kebaikan.

3). Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah rahimahullah (wafat th. 728 H) menerangkan berbagai kemungkaran yang terjadi pada majelis-majelis dzikir sebagai berikut:

“Adapun dzikir dengan menyebut nama Allah semata, baik penyebutan namanya secara langsung (yaitu seperti menyebut lafadh Allah, Allah, Allah, Allah…., pent) ataukah dengan menyebut dlamir nya (yaitu lafadh pengganti seperti menyebut lafadh Hua, Hua, Hua, Hua yang artinya ialah Dia, Dia, Dia, Dia…., pent) adalah perbuatan bid’ah dalam Syariat ini. Juga secara bahasa dan perkataan Arab, kalimat tersebut salah. Karena nama tunggal (yakni penyebutan nama semata tanpa digandengkan dengan kata yang lainnya, pent) bukanlah ia sebagai kalimat pernyataan iman dan bukan pula kalimat pernyataan kufur.” Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 10 halaman 398.

Syeikhul Islam banyak membahas majelis yang sering dinamakan Majelis As-Sima’ atau terkenal juga dengan majelis yang padanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam serta bait-bait syair yang dinyanyikan dengan irama-irama tertentu. Beliau mengingatkan adanya kemungkaran dalam majelis-majelis demikian, seperti penabuhan gendang dan alat-alat musik lainnya, bertepuk-tepuk tangan, bersiul-siul, dan berteriak-teriak dalam berdzikir kepada Allah. Juga dzikir yang mengandung lafadh tawassul yang syirik serta bid’ah. Semua hal tersebut adalah perkara-perkara yang diingkari oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 10 dan 11).
Semua pengingkaran para Ulama’ sebagaimana tersebut, telah saya pelajari dan ketika semua itu saya teliti pada majelis dzikir yang dipandu oleh saudara Muhammad Arifin Ilham, hal-hal kemungkaran tersebut tidak saya dapati dan bila kadang-kadang terdapat pada sebagian yang hadir, maka pemandu segera menegurnya dan melarangnya. Ini yang saya saksikan pada mereka. Adapun berkenaan dengan dzikir yang disuarakan bersama dan dikomandoi dengan satu komando, hal ini ada catatan tersendiri berkenaan pengingkaran kepadanya oleh Al-Imam As-Syathibi rahimahullah untuk kita telaah secara ilmiah.

(Ja’far Umar Thalib)

photoku

kunci rizky menurut alquraun dan sunah

KUNCI-KUNCI RIZKI
MENURUT AL-QUR'AN & AS-SUNNAH
Oleh : Dr.Fadhl Ilahi

MUKADIMAH

Sesungguhnya segala puji adalah milik Allah. Kita memuji, memohon pertolongan dan meminta ampunanNya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan dan keburukan amal perbuatan kita. Siapa yang ditunjuki Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya. Aku ber-saksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada beliau, keluarga, sahabat dan segenap orang yang mengikutinya. Amma ba'-du.

Di antara hal yang menyibukkan hati kebanyakan umat Islam adalah mencari rizki. Dan menurut pengamatan, sejumlah umat Islam memandang bahwa berpegang dengan Islam akan mengurangi rizki mereka. Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan lagi bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewa-jiban syari'at Islam tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan dibidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian hukum-hukum Islam, terutama yang berkenaan dengan halal dan haram.

Mereka itu lupa atau pura-pura lupa bahwa Sang Khaliq tidaklah mensyariatkan agamaNya hanya sebagai petun-juk bagi umat manusia dalam perkara-perkara akhirat dan kebahagiaan mereka di sana saja. Tetapi Allah mensyariat-kan agama ini juga untuk menunjuki manusia dalam urusan kehidupan dan kebahagiaan mereka di dunia. Bahkan do'a yang sering dipanjatkan Nabi kita , kekasih Tuhan Semes-ta Alam, yang dijadikanNya sebagai teladan bagi umat ma-nusia adalah:

"Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami kebaik-an di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka."

Allah dan RasulNya yang mulia tidak meninggalkan umat Islam tanpa petunjuk dalam kegelapan, berada dalam keraguan dalam usahanya mencari penghidupan. Tetapi se-baliknya, sebab-sebab rizki itu telah diatur dan dijelaskan. Seandainya umat ini mau memahaminya, menyadarinya, berpegang teguh dengannya serta menggunakan sebab-sebab itu dengan baik, niscaya Allah Yang Maha Pemberi Rizki dan memiliki kekuatan akan memudahkannya mencapai jalan-jalan untuk mendapatkan rizki dari setiap arah, serta akan dibukakan untuknya keberkahan dari langit dan bumi.

Didorong oleh keinginan untuk mengingatkan dan me-ngenalkan saudara-saudara sesama muslim tentang berbagai sebab di atas dan untuk meluruskan pemahaman mereka ten-tang hal ini serta untuk mengingatkan orang yang telah ter-sesat dari jalan yang lurus dalam berusaha mencari rizki, maka saya bertekad dengan memohon taufik dari Allah un-tuk mengumpulkan sebagian sebab-sebab untuk mendapat-kan rizki tersebut dalam buku kecil ini. Buku ini saya beri judul "Mafaatiihur Rizqi fi Dhau'il Kitab was Sunnah" (yang kami terjemahkan menjadi: "Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah").

Hal-Hal Yang Saya Perhatikan Dalam Makalah Ini

Diantara hal-hal yang saya perhatikan �dengan karunia Allah� dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.

Rujukan utama dalam makalah ini adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah RasulNya yang mulia.
2.

Saya menukil hadits-hadits dari maraji' (sumber) aslinya. Saya juga menyebutkan pandangan ulama tentang derajat hadits tersebut (shahih, hasan, dha'if, dan lain sebagai-nya, pen.), kecuali apa yang saya nukil dari shahihain (Al-Bukhari dan Muslim). Sebab segenap umat Islam telah sepakat untuk menerima (keshahihannya).
3.

Ketika menggunakan dalil dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits, saya berusaha mengambil faedah (penje-lasan) dari kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab syarah (kete-rangan) hadits-hadits.
4.

Saya memaparkan tentang apa yang dimaksud dengan sebab-sebab yang disyari'atkan dalam mencari rizki dengan bantuan keterangan-keterangan �setelah memo-hon pertolongan dari Allah � dari ucapan-ucapan para ulama, untuk menghilangkan keragu-raguan di dalamnya.
5.

Saya tidak bermaksud membicarakan manfaat-manfaat lain dari sebab-sebab yang Allah jadikan selain ma-salah rizki. Kecuali disebutkan secara kebetulan. Mudah-mudahan Allah memudahkan saya untuk membicara-kan hal-hal tersebut di masa yang akan datang.
6.

Saya jelaskan beberapa kata asing yang ada di dalam hadits-hadits, untuk lebih menyempurnakan manfaat, In-sya Allah.
7.

Saya tuliskan beberapa maraji' (sumber) yang cukup untuk memudahkan siapa saja yang ingin kembali kepadanya.
8.

Saya tidak bermaksud menyebutkan sebab-sebab rizki seluruhnya. Tetapi yang saya bahas adalah apa yang dimudahkan oleh Allah padaku untu mengumpulkannya.

Daftar Isi

Pasal Pertama : Istighfar dan Taubat
Pasal Kedua : Taqwa
Pasal Ketiga : Tawakkal kepada Allah
Pasal Keempat : Beribadah sepenuhnya kepada Allah
Pasal Kelima : Melanjutkan Haji dengan Umrah
Pasal Keenam : Silaturrahim
Pasal Ketujuh : Infak di Jalan Allah
Pasal Kedelapan : Berinfak kepada Penuntut Ilmu Syari' Sepenuhnya
Pasal Kesembilan : Berbuat baik kepada Orang-orang yang Lemah
Pasal Kesepuluh : Hijrah di Jalan Allah
Penutup : Terdiri dari Kesimpulan Bahasan dan Pesan


Ucapan Terima Kasih dan Do'a

Inilah (karya sederhana itu), dan segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, tempat bergantung, yang semoga memberi nikmat kepada hambaNya yang lemah ini berupa rahmat, ampunan dan kemuliaan untuk menyelesaikan pembahasan ini. Kami ucapkan terimakasih sekaligus panjatan do'a kepada saudaraku Dr. Sayid Muhammad Sadati Asy-Syinqithi. Saya banyak mengambil manfaat dari beliau dalam penulisan makalah ini. Ucapan terimakasih serta penghargaan juga kami sampaikan kepada para pengurus Maktab Ta'awuni lid Dakwah wal Irsyad (Kantor Urusan Kerjasama Dakwah dan Penyuluhan) Divisi Orang-orang Asing di Bathha', Riyadh yang berada di bawah Koordinasi Departemen Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Penyuluhan Kerajaan Saudi Arabia. Di mana, sebelumnya makalah ini berasal dari dua kali materi ceramah yang saya sampaikan di kantor tersebut. Do'a saya juga untuk putra saya tersayang Hammad Ilahi serta anak-anak saya yang lain. Mereka secara bersama-sama saya memeriksa naskah yang telah disetting dari buku ini. Mudah-mudahan Allah melimpahkan balasan kepada semuanya dengan sebaik-baik balasan di dunia maupun di akhirat.

Saya memohon kepada Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan, semoga Ia menjadikan pekerjaanku ini benar-benar ikhlas karena mencari ridhaNya. Serta menjadi-kannya sebagai simpanan saya dan simpanan kedua orang tua saya pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih. Sebagaimana saya juga memohon kepada Rabb Yang Maha Hidup lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya, semoga Ia memberi taufik kepada saya, juga kepada saudara-saudara, anak-anak, karib-kerabat saya serta sege-nap umat Islam untuk berpegang dan mengambil manfaat dari sebab-sebab rizki yang disyari'atkan. Semoga pula Ia memudahkan kebaikan bagi kita di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabul-kan. Amin.

Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad , kepada keluarga, sahabat dan segenap pengikutnya.

Dr. Fadhl Ilahi

KUNCI-KUNCI RIZKI
MENURUT AL-QUR'AN & AS-SUNNAH
Oleh : Dr.Fadhl Ilahi

Pasal Pertama :
ISTIGHFAR DAN TAUBAT


Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah is-tighfar (memohon ampunan) dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan). Untuk itu, pembahasan mengenai pasal ini kami bagi menjadi dua pembahasan:

a. Hakikat istighfar dan taubat.
b. Dalil syar'i bahwa istighfar dan taubat termasuk kunci rizki.

A. Hakikat Istighfar dan Taubat

Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mere-ka mengucapkan,

"Aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat ke-padaNya"

Tetapi kalimat-kalimat di atas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.

Para ulama � semoga Allah memberi balasan yang se-baik-baiknya kepada mereka telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.

Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan: "Dalam istilah syara', taubat adalah meninggalkan dosa karena ke-burukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berke-inginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha mela-kukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna"

Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menje-laskan: "Para ulama berkata, 'Bertaubat dari setiap dosa hu-kumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali per-buatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.

Jika taubat itu berkaitan dengan manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika ber-bentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengem-balikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau seje-nisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk mem-balasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf."

Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah "Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah:

"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun." (Nuh: 10).

Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta.

B. Dalil Syar'i Bahwa Istighfar dan Taubat Termasuk Kunci Rizki

Beberapa nash (teks) Al-Qur'an dan Al-Hadits me-nunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab rizki dengan karunia Allah . Di bawah ini beberapa nash dimaksud:

1. Apa yang disebutkan Allah tentang Nuh yang berkata kepada kaumnya :

"Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai'." (Nuh: 10-12).

Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut dengan istighfar.

1.

Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan fir-manNya: "Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun."
2.

Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas radhiallaahu anhu berkata " " adalah (hujan) yang turun dengan deras.
3.

Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak. Dalam menafsirkan ayat:Atha' berkata: "Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian".
4.

Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.
5.

Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai. Imam Al-Qurthubi berkata: "Dalam ayat ini, juga disebutkan dalam (surat Hud) adalah dalil yang menunjukkan bah-wa istighfar merupakan salah satu sarana meminta ditu-runkannya rizki dan hujan."

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata: "Makna-nya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa mentaatiNya niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, mem-banyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu (untuk kalian)."

Demikianlah, dan Amirul mukminin Umar bin Khaththab juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah .

Muthrif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi: "Bahwasanya Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang ba-nyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih langit yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan. Lalu beliau membaca ayat:

"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat." (Nuh: 10-11).

Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya ketu-runan dan kekeringan kebun-kebun.

Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bah-wasanya ia berkata: "Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, "Beristighfarlah kepada Allah!" Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, "Beristighfarlah kepada Allah!" Yang lain lagi berkata kepadanya, "Do'akanlah (aku) kepada Allah, agar ia memberiku anak!" Maka beliau mengatakan kepadanya, "Beristighfarlah kepada Allah!" Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, "Beristighfarlah kepa-da Allah!"

Dan kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan: "Maka Ar-Rabi' bin Shabih berkata kepadanya, 'Banyak orang yang mengadukan bermacam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar. Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, 'Aku tidak mengata-kan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh:

"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." (Nuh: 10-12).

Allahu Akbar! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-ham-baMu yang pandai beristighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus MakhlukNya.

2. Ayat lain adalah firman Allah yang menceritakan ten-tang seruan Hud kepada kaumnya agar beristighfar.

"Dan (Hud berkata), 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa'." (Hud:52).

Al-Hafizh Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan: "Kemudian Hud memerintahkan kaumnya untuk beristighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman:

"Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atas-mu".

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.

3. Ayat yang lain adalah firman Allah:

"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat." (Hud: 3).

Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang beristighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firmanNya:

"Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu." Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas adalah, "Ia akan menganugerahi rizki dan kelapangan kepada kalian".

Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan: "Inilah buah dari istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberi kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian.

Dan janji Tuhan Yang Maha Mulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: "Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa beristighfar dan ber-taubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugerahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentu-kan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang dite-tapkan".

4. Dalil lain bahwa beristighfar dan taubat adalah di antara kunci-kunci rizki yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas ia berkata, Rasulullah bersabda:

"Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitan-nya kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka".

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu, mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang mem-perbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rizki, yang Memiliki kekuatan akan mem-berikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terdetik dalam hatinya.

Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hen-daklah ia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memo-hon ampun), baik dengan ucapan maupun perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada, sekali lagi hendaknya waspada, dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab itu adalah pekerjaan para pendusta.


Pasal Kedua :
TAQWA


Termasuk sebab turunnya rizki adala taqwa. Saya akan membicarakan masalah ini � dengan memohon taufik dari Allah� dalam dua bahasan:

a. Makna taqwa.
b. Dalil syar'i bahwa taqwa termasuk kunci rizki.

A. MAKNA TAQWA

Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan: "Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan".

Sedangkan Imam An-Nawawi mendefinisikan taqwa dengan "Mentaati perintah dan laranganNya." Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah . Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani "Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya."

Karena itu, siapa yang tidak menjaga dirinya, dari perbuatan dosa, berarti dia bukanlah orang bertaqwa. Maka orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang diharamkan Allah, atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai Allah, atau mengambil dengan kedua tangan-nya apa yang tidak diridhai Allah, atau berjalan ke tempat yang dikutuk Allah, berarti tidak menjaga dirinya dari dosa.

Jadi, orang yang membangkang perintah Allah serta me-lakukan apa yang dilarangNya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa.

Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa dari Allah, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.

B. DALIL SYAR'I BAHWA TAQWA TERMASUK KUNCI RIZKI

Beberapa nash yang menunjukkan bahwa taqwa terma-suk di antara sebab rizki, Di antaranya:

1. Firman Allah:

"Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi-nya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2-3).

Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan taqwa akan dibalas Allah dengan dua hal. Pertama, "Allah akan mengadakan jalan keluar baginya." Artinya, Allah akan menyelamatkannya �sebagaimana dika-takan Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu � dari setiap kesusahan dunia maupun akhirat. Kedua, "Allah akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka." Artinya, Allah akan memberi-nya rizki yang tak pernah ia harapkan dan angankan.

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: "Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah de-ngan melakukan apa yang diperintahkanNya dan mening-galkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan membe-rinya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya,"

Alangkah agung dan besar buah taqwa itu! Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah:

"Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya".

2. Ayat lainnya adalah firman Allah:

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada me-reka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendus-takan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka di-sebabkan perbuatan mereka sendiri". (Al-A'raf: 96).

Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandai-nya penduduk negeri-negeri merealisasikan dua hal, yakni iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka menda-patkannya dari segala arah.

Menafsirkan firman Allah:
"Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah dari langit dan bumi, Abdullah bin Abbas mengatakan: "Niscaya Kami lapangkan kebaikan (ke-kayaan) untuk mereka dan Kami mudahkan bagi mereka untuk mendapatkan dari segala arah."

Janji Allah yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut terhadap orang-orang beriman dan bertaqwa mengandung beberapa hal, di antaranya:

a. Janji Allah untuk membuka " " (keberkahan) bagi mereka. "" adalah bentuk jama' dari " " Imam Al-Baghawi berkata, Ia berarti mengerjakan sesuatu secara terus menerus. Atau seperti kata Imam Al-Khazin, "Tetapnya suatu kebaikan Tuhan atas sesuatu."

Jadi, yang dapat disimpulkan dari makna kalimat " " adalah bahwa apa yang diberikan Allah disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan mereka merupakan kebaikan yang terus menerus, tidak ada keburukan atau konsekuensi apa pun atas mereka sesudahnya.

Tentang hal ini, Sayid Muhammad Rasyid Ridha berkata: "Adapun orang-orang beriman maka apa yang dibukakan untuk mereka adalah berupa berkah dan kenikmatan. Dan untuk hal itu, mereka senantiasa bersyukur kepada Allah, ridha terhadapNya dan mengharapkan karuniaNya. Lalu mereka menggunakannya di jalan kebaikan, bukan jalan keburukan, untuk perbaikan bukan untuk merusak. Sehingga balasan bagi mereka dari Allah adalah ditambahnya berbagai kenikmatan di dunia dan pahala yang baik di akhirat."

Syaikh Ibnu Asyur mengungkapkan hal itu dengan ucapannya: " " adalah kebaikan yang murni yang tidak ada konsekuensinya di akhirat. Dan ini adalah sebaik-baik jenis nikmat."

b. Kata berkah disebutkan dalam bentuk jama' sebagai-mana firman Allah:

"Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah." Ayat ini, sebagaimana disebutkan Syaikh Ibnu Asyur untuk menunjukan banyaknya berkah sesuai dengan banyaknya sesuatu yang diberkahi.

c. Allah berfirman:

"Berbagai keberkahan dari langit dan bumi". Menurut Imam Ar-Razi, maksudnya adalah keberkahan langit dengan turunnya hujan, keberkahan bumi dengan tumbuhnya berba-gai tanaman dan buah-buahan, banyaknya hewan ternak dan gembalaan serta diperolehnya keamanan dan keselamatan. Hal ini karena langit adalah laksana ayah, dan bumi laksana Ibu. Dari keduanya diperoleh semua bentuk manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah ."

3. Ayat lainnya adalah firman Allah:

"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan pertengah-an. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka". (Al-Ma'idah: 66).

Allah mengabarkan tentang Ahli Kitab, 'Bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang ada di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an �demikian seperti dikatakan oleh Abdullah bin Abbas c dalam menafsirkan ayat terse-but,� niscaya Allah memperbanyak rizki yang diturunkan kepada mereka dari langit dan yang tumbuh untuk mereka dari bumi.

Syaikh Yahya bin Umar Al-Andalusi berkata: "Allah menghendaki �wallahu a'lam� bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang diturunkan di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an, niscaya mereka memakan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Maknanya �wallahu'alam�, niscaya mereka diberi kelapangan dan kesempurnaan nikmat du-nia,"

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi mengata-kan, "Dan sejenis dengan ayat ini adalah firman Allah:

"Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq:2-3).

"Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan di atas ja-lan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang ba-nyak)." (Al-Jin: 16).

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada me-reka berbagai keberkahan dari langit dan bumi." (Al-A'raf: 96).

Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas, Allah menjadikan ketaqwaan di antara sebab-sebab rizki dan men-janjikan untuk menambahnya bagi orang yang bersyukur.

Allah berfirman:

"Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku atasmu." (Ibrahim: 7).

Karena itu, setiap orang yang menginginkan keluasan rizki dan kemakmuran hidup, hendaknya ia menjaga dirinya dari segala dosa. Hendaknya ia menta'ati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Juga hendaknya ia menjaga diri dari yang menyebabkan berhak mendapat siksa, seperti melakukan kemungkaran atau meninggalkan kebaikan.



Pasal Ketiga :
BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH


Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah dan Yang kepadaNya tempat bergantung. Insya Allah kita akan membicarakan hal ini melalui tiga hal:

a. Yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.
b. Dalil syar'i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki.
c. Apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha?

A. Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah

Para ulama �semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan� telah menjelaskan makna tawakkal. Di antaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau berkata: "Tawak-kal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang di-tawakkali) semata."

Al-Allamah Al-Manawi berkata: "Tawakkal adalah me-nampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di tawakkali."

Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qori berkata: "Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rizki, pem-berian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semua-nya itu adalah dari Allah."

B. Dalil syar'i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki

Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Muba-rak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qhudha'i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah bersabda:

"Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang."

Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah yang ber-bicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberiNya rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman:

"Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Se-sungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaq: 3).

Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi' bin Khutsaim me-ngatakan: "(Mencukupkan) diri setiap yang membuat sempit manusia".

C. Apakah Tawakkal itu Berarti Mening-galkan Usaha?

Sebagian orang mukmin ada yang berkata: "Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?"

Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan di-beri rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa dan Yang kepadanya tempat bergantung. Dan sungguh para ulama �semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan� telah memperingatkan masa-lah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: " Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka berta-wakkal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan dan usa-ha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut."

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, 'Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku datang sendiri'. Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda:

"Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku."

Dan beliau bersabda:
"Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan se-benar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang."

Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka men-cari rizki.

Selanjutnya Imam Ahmad berkata: "Para Sahabat berda-gang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itu-lah teladan kita".

Syaikh Abu Hamid berkata: "Barangkali ada yang mengi-ra bahwa makna tawakkal adalah , meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang di-lemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat me-motong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syari'at. Sedangkan syari'at memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama dapat di-peroleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula?

Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita kata-kan, "Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak da-lam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya".

Imam Abul Qosim Al-Qusyairi berkata: "Ketahuilah se-sungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan dengan ta-wakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba me-yakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena taqdirNya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya."

Di antara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya , ia berkata:

"Seseorang berkata kepada Nabi , Aku lepaskan unta-ku dan (lalu) aku bertawakkal?' Nabi bersabda: 'Ikatlah kemudian bertawakkallah'."

Dan dalam riwayat Al-Qudha'i disebutkan:
"Amr bin Umayah berkata: 'Aku bertanya,'Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?' Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaran (unta)mu lalu bertawakkallah'."

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.


Pasal Keempat :
BERIBADAH KEPADA ALLAH SEPENUHNYA


Di antara kunci-kunci rizki adalah beribadah kepada Allah sepenuhnya. Saya akan membahas masalah ini �dengan memohon pertolongan kepada Allah� dari dua hal:

A. Makna beribadah kepada Allah sepenuhnya.
B. Dalil syar'i bahwa beribadah kepada Allah sepenuhnya adalah di antara kunci-kunci rizki.

A. Makna Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya.

Hendaknya seseorang tidak mengira bahwa yang dimak-sud beribadah sepenuhnya adalah dengan meninggalkan usaha untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di masjid sepanjang siang dan malam. Tetapi yang dimaksud � wallahu a'lam� adalah hendaknya seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu' dan merendahkan diri di hadapan Allah Yang Maha Esa, menghadirkan (dalam hati) betapa besar keagungan Allah, benar-benar merasa bahwa ia sedang bermunajat kepada Allah Yang Maha Menguasai dan Maha Menentukan. Yakni beribadah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:

"Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kami melihatNya. Jika kamu tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu."

Janganlah engkau termasuk orang-orang yang (ketika beribadah) jasad mereka berada di masjid, sedang hatinya berada di luar masjid.

Menjelaskan sabda Rasulullah :
"Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu". Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, "Maknanya, jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (berkonsentrasi) untuk beribadah kepada Tuhan-mu".

B. DALIL SYAR'I BAHWA BERIBADAH KEPADA ALLAH SEPENUHNYA TERMASUK KUNCI RIZKI

Ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa beribadah sepenuhnya kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki. Beberapa nash tesebut di antaranya adalah:

1. Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah , dari Nabi beliau bersabda:

"Sesungguhnya Allah berfirman, 'wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, nis-caya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)'."

Nabi dalam hadits tersebut menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua hadiah, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah Allah mengisi hati orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan keka-yaan serta memenuhi kebutuhannya. Sedangkan dua siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan berbagai kesibuk-an, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan kepada manusia.

2. Hadits riwayat Imam Al-Hakim dari Ma'qal bin Yasar ia berkata, Rasulullah bersabda:

"Tuhan kalian berkata, 'Wahai anak Adam, beribadah-lah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan."

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia, yang berbicara berdasarkan wahyu mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu pun lebih memenuhi janji daripadaNya, berupa dua jenis pahala bagi orang yang benar-benar ber-ibadah kepada Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti meme-nuhi hatinya dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan rizki.

Sebagaimana Nabi juga memperingatkan akan ancam-an Allah kepada orang yang menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti memenuhi hatinya dengan kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan.

Dan semua mengetahui, siapa yang hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan, niscaya tidak akan didekati oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang kedua tangannya dipenuhi rizki oleh Yang Maha Memberi rizki dan Maha Perkasa, niscaya ia tidak akan pernah pailit selama-lamanya. Sebaliknya, siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan, niscaya tak seorang pun mampu membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh Yang Maha Perkasa dan Maha Memaksa, niscaya tak seorang pun yang mampu memberinya waktu luang.


Pasal Kelima :
MELANJUTKAN HAJI DENGAN UMRAH ATAU SEBALIKNYA


Di antara perbuatan yang dijadikan Allah termasuk kunci-kunci rizki yaitu melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya. Pembicaraan masalah ini �dengan memohon pertolongan Allah� akan saya lakukan melalui dua poin bahasan:

A. Yang dimaksud melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya.
B. Dalil syar'i bahwa melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya termasuk pintu-pintu rizki.

A. Yang Dimaksud Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya

Syaikh Abul Hasan As-Sindi menjelaskan tentang mak-sud melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya berkata: "Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain, di mana ia dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji maka tunaikanlah umrah. Dan jika kalian menunaikan umrah maka tunaikanlah haji, sebab keduanya saling mengikuti.

B. Dalil Syar'i Bahwa Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya Termasuk Kunci Rizki

Di antara hadits-hadits yang menunjukkan bahwa melan-jutkan haji dengan umrah atau sebaliknya termasuk kunci-kunci rizki adalah :

1. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Hibban meriwayatkah dari Abdullah bin Mas'ud berkata, Rasulullah bersabda:

"Lanjutkanlah haji dengan umrah, karena sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa, sebagai-mana api dapat menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan tidak ada pahala haji yang mabrur itu melainkan Surga".

Dalam hadits yang mulia tersebut Nabi yang terper-caya, yakni berbicara dengan wahyu menjelaskan bahwa buah melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya adalah hilangnya kemiskinan dan dosa. Imam Ibnu Hibban mem-beri judul hadits ini dalam kitab shahihnya dengan:

"Keterangan Bahwa Haji dan Umrah Menghilangkan Dosa-dosa dan Kemiskinan dari Setiap Muslim dengan Sebab Keduanya."

Sedangkan Imam Ath-Thayyibi dalam menjelaskan sabda Nabi :

"Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa", dia berkata, "Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan ber-sedekah dalam menambah harta."

2. Hadits riwayat Imam An-Nasa'i dari Ibnu Abbas c, ia berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda:

"Lanjutkanlah haji dengan umrah atau sebaliknya. Kare-na sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemis-kinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat menghi-langkan kotoran besi."

Maka orang-orang yang menginginkan untuk dihilangkan kemiskinan dan dosa-dosanya, hendaknya ia segera melan-jutkan hajinya dengan umrah atau sebaliknya.



Pasal Keenam :
SILATURRAHIM


Di antara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim. Pembi-caraan masalah ini �dengan memohon pertolongan Allah� akan saya bahas melalui empat poin berikut:

A. Makna silaturrahim.
B. Dalil syar'i bahwa silaturrahim termasuk di antara pintu-pintu rizki.
C. Apa saja sarana untuk silaturrahim?
D. Tata cara silaturrahim dengan para ahli maksiat.

A. Makna Silaturrahim

Makna "ar-rahim" adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Ar-rahim" secara umum adalah dimak-sudkan untuk para kerabat dekat. Antara mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak."

Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja.

Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian."

Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para karib kerabat dekat �baik menurut garis keturunan maupun perkawinan� berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka.

B. Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk Kunci Rizki

Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab kelapang-an rizki. Di antara hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah:

1. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata, 'Aku mendengar Rasulullah bersabda:

"Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya) maka hen-daknyalah ia menyambung (tali) silaturrahim".

2. Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda:

"Siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim."

Dalam hadits yang mulia di atas, Nabi menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan bertambahnya usia.

Ini adalah tawaran terbuka yang disampaikan oleh makh-luk Allah yang paling benar dan jujur, yang berbicara berda-sarkan wahyu, Nabi Muhammad . Maka barangsiapa me-nginginkan dua buah di atas hendaknya ia menaburkan be-nihnya, yaitu silaturrahim. Demikianlah, sehingga Imam Al-Bukhari memberi judul untuk kedua hadits itu dengan "Bab Orang Yang Dilapangkan Rizkinya dengan Silaturrahim." Artinya, dengan sebab silaturrahim.

Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik dalam kitab shahihnya dan beliau memberi judul dengan: "Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan Ba-nyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyam-bung Silaturrahim.

3. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah , dari Nabi beliau bersabda:

"Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyaknya harta dan bertambahnya usia."

Dalam hadits yang mulia Ini Nabi menjelaskan bahwa silaturrahim ini membuahkan tiga hal, di antaranya adalah ia menjadi sebab banyaknya harta.

4. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi , beliau bersabda:

"Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta dihindarkan dari kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim."

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, menjelaskan tiga manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki dua sifat; bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu dari tiga manfaat itu adalah keluasan rizki.

5. Dalil lain adalah riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ia berkata:

"Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya dan menyam-bung silaturrahim, niscaya dipanjangkan umurnya dan dibanyakkan rizkinya dan dicintai oleh keluarganya."

6. Demikian besarnya pengaruh silaturrahim dalam ber-kembangnya harta benda dan menjauhkan kemiskinan, sam-pai-sampai ahli maksiat pun, disebabkan oleh silaturrahim, harta mereka bisa berkembang, semakin banyak jumlahnya dan mereka jauh dari kefakiran, karena karunia Allah .

Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:

"Sesungguhnya keta'atan yang paling disegerakan paha-lanya adalah silaturrahim. Bahkan hingga suatu keluar-ga yang ahli maskiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturrahim. Dan tidaklah ada suatu keluarga yang saling bersilaturrahim kemudian mereka membutuhkan (kekurangan)."

C. APA SAJA SARANA UNTUK SILATURRAHIM?

Sebagian orang menyempitkan makna silaturrahim hanya dalam masalah harta. Pembatasan ini tidaklah benar. Sebab yang dimaksud silaturrahim lebih luas dari itu. Silaturrahim adalah usaha untuk memberikan kebaikan kepada kerabat dekat serta (upaya) untuk menolak keburukan dari mereka, baik dengan harta atau dengan lainnya.

Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: "Silaturrahim itu bisa dengan harta, dengan memberikan kebutuhan mereka, de-ngan menolak keburukan dari mereka, dengan wajah yang berseri-seri serta dengan do'a."

Makna silaturrahim yang lengkap adalah memberikan apa saja yang mungkin diberikan dari segala bentuk kebaik-an, serta menolak apa saja yang mungkin bisa ditolak dari keburukan sesuai dengan kemampuannya (kepada kerabat dekat).

D. Tata Cara Silaturrahim dengan Para Ahli Maksiat

Sebagian orang salah dalam memahami tata cara silatur-rahim dengan para ahli maksiat. Mereka mengira bahwa bersilaturrahim dengan mereka berarti juga mencintai dan menyayangi mereka, bersama-sama duduk dalam satu maje-lis dengan mereka, makan bersama-sama mereka serta bersi-kap lembut dengan mereka. Ini adalah tidak benar.

Semua memaklumi bahwa Islam tidak melarang berbuat baik kepada kerabat dekat yang suka berbuat maksiat, bah-kan hingga kepada orang-orang kafir. Allah berfirman:

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan ber-laku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi-mu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Mumtahanah: 8).

Demikian pula sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma' binti Abu Bakar c yang menanyakan Rasullah untuk bersilaturrahmi kepada ibunya yang musyrik. Dalam hadits ini diantaranya disebutkan:

"Aku bertanya, 'Sesungguhnya ibuku datang dan ia sangat berharap, apakah aku harus menyambung (silaturrahim) dengan ibuku?' Beliau menjawab, 'Ya, sambunglah (silaturrahim) dengan ibumu'."

Tetapi, itu bukan berarti harus saling mencintai dan me-nyayangi, duduk-duduk satu majelis dengan mereka. Bersa-ma-sama makan dengan mereka serta bersikap lembut de-ngan orang-orang kafir dan ahli maksiat tersebut. Allah ber-firman:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang ber-iman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-sudara atau pun keluarga me-reka." (Al-Mujadilah: 22).

Makna ayat yang mulia ini �sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Razi� adalah bahwasanya tidak akan bertemu antara iman dengan kecintaan kepada musuh-musuh Allah. Karena jika seseorang mencintai orang lain maka tidak mungkin ia akan mencintai musuh orang tersebut.

Dan berdasarkan ayat ini, Imam Malik menyatakan bolehnya memusuhi kelompok Qadariyah dan tidak duduk satu majelis dengan mereka.

Imam Al-Qurthubi mengomentari dasar hukum Imam Malik: "Saya berkata, 'Termasuk dalam makna kelompok Qadariyah adalah semua orang yang zhalim dan yang suka memusuhi'."

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia tersebut berkata: "Artinya, mereka tidak saling men-cintai dengan orang yang suka menentang (Allah dan Rasul-Nya), bahkan meskipun mereka termasuk kerabat dekat."

Sebaliknya, silaturrahim dengan mereka adalah dalam upaya untuk menghalangi mereka agar tidak mendekat kepada Neraka dan menjauhi dari Surga. Tetapi, bila kondisi mengisyaratkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut ada-lah dengan cara memutuskan hubungan dengan mereka, maka pemutusan hubungan tersebut �dalam kondisi demi-kian� dapat dikategorikan sebagai silaturrahim.

Dalam hal ini, Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: "Jika mereka itu orang-orang kafir atau suka berbuat dosa maka memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah adalah (bentuk) silaturrahim dengan mereka. Tapi dengan syarat telah ada usaha untuk menasehati dan memberitahu mereka, dan mereka masih terus membandel. Kemudian, hal itu (pe-mutusan silaturrahim) dilakukan karena mereka tidak mau menerima kebenaran. Meskipun demikian, mereka masih te-tap berkewajiban mendo'akan mereka tanpa sepengetahuan mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus.



Pasal Ketujuh :
BERINFAK DI JALAN ALLAH

Di antara kunci-kunci rizki lain adalah berinfak di jalan Allah. Pembahasan masalah ini �dengan memohon taufik dari Allah� akan saya lakukan melalui dua poin berikut:

A. Yang dimaksud berinfak.
B. Dalil syar'i bahwa berinfak di jalan Allah adalah termasuk kunci-kunci rizki.

A. Yang Dimaksud Berinfak

Di tengah-tengah menafsirkan firman Allah:

"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya". (Saba': 39).

Syaikh Ibnu Asyur berkata: "Yang dimaksud dengan infak di sini adalah infak yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfak kepada orang-orang fakir dan berinfak di jalan Allah untuk menolong agama."

B. Dalil Syar'i Bahwa Berinfak di Jalan Allah Adalah Termasuk Kunci Rizki

Ada beberapa nash dalam Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif yang menunjukkan bahwa orang yang berinfak di jalan Allah akan diganti oleh Allah di dunia. Di samping, tentunya apa yang disediakan oleh Allah baginya dari pahala yang besar di akhirat. Di antara dalil-dalil itu adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah:

"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang se-baik-baiknya." (Saba': 39).

Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: "Betapapun sedikit apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang diper-bolehkanNya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia, dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan gan-jaran, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits�"

Imam Ar-Razi berkata, "Firman Allah: 'Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya', adalah realisasi dari sabda Nabi : "Tidaklah para hamba berada di pagi hari�." (Al-Hadits). Yang demikian itu karena Allah adalah Penguasa, Maha Tinggi dan Maha Kaya. Maka jika Dia berkata: "Nafkahkanlah dan Aku yang akan menggantinya,' maka itu sama dengan janji yang pasti ia tepati. Sebagaimana jika Dia berkata: "Lemparkanlah barangmu ke dalam laut dan Aku yang menjaminnya."

Maka, barangsiapa berinfak berarti dia telah memenuhi syarat untuk mendapatkan ganti. Sebaliknya, siapa yang ti-dak berinfak maka hartanya akan lenyap dan ia tidak berhak mendapatkan ganti. Hartanya akan hilang tanpa ganti, arti-nya lenyap begitu saja.

Yang mengherankan, jika seseorang pedagang mengeta-hui bahwa sebagian dari hartanya akan binasa, ia akan menjualnya dengan cara nasi'ah (pembayaran di belakang), meskipun pembelinya termasuk orang miskin. Lalu ia ber-kata, hal itu lebih baik daripada pelan-pelan harta itu binasa. Jika ia tidak menjualnya sampai harta itu binasa maka ia akan disalahkan. Dan jika ada orang mampu yang menjamin orang miskin itu, tetapi ia tidak menjualnya (kepada orang tersebut) maka ia disebut orang gila.

Dan sungguh, hampir setiap orang melakukan hal ini, tetapi masing-masing tidak menyadari bahwa hal itu mendekati gila. Sesungguhnya harta kita semuanya pasti akan binasa. Dan menafkahkan kepada keluarga dan anak-anak adalah berarti memberi pinjaman. Semuanya itu berada dalam jaminan kuat, yaitu Allah Yang Maha Tinggi. Allah berfirman: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia pasti manggantinya."

Lalu Allah memberi pinjaman kepada setiap orang, ada yang berupa tanah, kebun, penggilingan, tempat pemandian untuk berobat atau manfaat tertentu. Sebab setiap orang tentu memiliki pekerjaan atau tempat yang daripadanya ia mendapatkan harta. Dan semua itu milik Allah. Di tangan manusia, harta itu adalah pinjaman. Jadi, seakan-akan ba-rang-barang tersebut adalah jaminan yang diberikan Allah dari rizkiNya, agar orang tersebut percaya penuh kepadaNya bahwa bila dia berinfak, Allah pasti akan menggantinya. Tetapi meskipun demikian, ternyata ia tidak mau berinfak dan membiarkan hartanya lenyap begitu saja tanpa mendapat pahala dan disyukuri.

Selain itu, Allah menegaskan janjiNya dalam ayat ini kepada orang yang berinfak untuk menggantinya dengan rizki (lain) melalui tiga penegasan. Dalam hal ini, Ibnu Asyur berkata: "Allah menegaskan janji tersebut dengan kalimat bersyarat, dan dengan menjadikan jawaban dari kali-mat bersyarat itu dalam bentuk jumlah ismiyah dan dengan mendahulukan musnad ilaiah (sandaran) terhadap khabar fi'il-nya ( �������� ������������) yaitu dalam firmanNya: ������ ���������� De-ngan demikian, janji tersebut ditegaskan dengan tiga pene-gasan yang menunjukkan bahwa Allah benar-benar akan merealisasikan janji itu. Sekaligus menunjukkan bahwa ber-infak adalah sesuatu yang dicintai Allah.

Dan sungguh janji Allah adalah sesuatu yang tegas, ya-kin, pasti dan tidak ada keraguan untuk diwujudkannya, wa-laupun tanpa adanya penegasan seperti di atas. Lalu, bagai-mana halnya jika janji itu ditegaskan dengan tiga penegasan?

2. Dalil lain adalah firman Allah:

"Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan ke-miskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 268).

Menafsirkan ayat mulia ini, Ibnu Abbas berkata: "Dua hal dari Allah, dan dua hal dari setan. "Setan men-janjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan." Setan itu berkata, 'Jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya'. "Dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir)."

(Dan dua hal dari Allah adalah), "Allah menjanjikan un-tukmu ampunan daripadaNya," yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, "dan karunia" berupa rizki.

Al-Qadhi Ibnu Athiyah menafsirkan ayat ini berkata: "Maghfirah (ampunan Allah) adalah janji Allah bahwa Dia akan menutupi kesalahan segenap hambaNya di dunia dan di akhirat. Sedangkan al-fadhl (karunia) adalah rizki yang luas di dunia, serta pemberian nikmat di akhirat, dengan segala apa yang telah dijanjikan Allah .

Imam Ibnu Qayim Al-Jauziyah dalam menafsirkan ayat yang mulia ini berkata: "Demikianlah, peringatan setan bah-wa orang yang menginfakkan hartanya, bisa mengalami ke-fakiran bukanlah suatu bentuk kasih sayang setan kepa-danya, juga bukan suatu bentuk nasihat baik untuknya. Ada-pun Allah, maka Ia menjanjikan kepada hambaNya ampunan dosa-dosa daripadaNya, serta karunia berupa penggantian yang lebih baik daripada yang ia infakkan, dan ia dilipatgan-dakanNya baik di dunia saja atau di dunia dan di akhirat."

3. Dalil lain adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah , Nabi memberitahukan kepadanya:

"Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, 'Wahai anak Adam, berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rizki) kepadaMu."

Allahu Akbar! Betapa besar jaminan orang yang berinfak di jalan Allah! Betapa mudah dan gampang jalan mendapatkan rizki! Seorang hamba berinfak di jalan Allah, lalu Dzat Yang di TanganNya kepemilikan segala sesuatu memberi-kan infak (rizki) kepadanya. Jika seorang hamba berinfak sesuai dengan kemampuannya maka Dzat Yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi serta kerajaan segala se-suatu akan memberi infak (rizki) kepadanya sesuai dengan keagungan, kemuliaan dan kekuasaanNya.

Imam An-Nawawi berkata: "Firman Allah, 'Berinfaklah, niscaya Aku berinfak (memberi rizki) kepadamu' adalah makna dari firman Allah dalam Al-Qur'an:

"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya." (Saba': 39).

Ayat ini mengandung anjuran untuk berinfak dalam ber-bagai bentuk kebaikan, serta berita gembira bahwa semua itu akan diganti atas karunia Allah .

4. Dalil lain bahwa berinfak di jalan Allah adalah di antara kunci-kunci rizki yaitu apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda:

"Tidaklah para hamba berada di pagi hari kecuali di dalamnya terdapat dua malaikat yang turun. Salah satunya berdo'a, 'Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak ganti (dari apa yang ia infakkan)'. Sedang yang lain berkata, 'Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menahan (hartanya) kebinasaan (hartanya)'."

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia menga-barkan bahwa terdapat malaikat yang berdo'a setiap hari kepada orang yang berinfak agar diberikan ganti oleh Allah. Maksudnya �sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari� adalah ganti yang besar. Yakni ganti yang baik, atau ganti di dunia dan ganti di akhirat. Hal itu berdasarkan firman Allah:

"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya. Dan Dialah sebaik-baik Pemberi rizki." (Saba': 39).

Dan diketahui secara umum bahwa do'a malaikat adalah dikabulkan, sebab tidaklah mereka mendo'akan bagi sese-orang melainkan dengan izinNya. Allah berfirman:

"Dan mereka tiada memberi syafa'at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadaNya." (Al-Anbiya': 28).

5. Dalil lain adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda:

"Berinfaklah wahai Bilal! Jangan takut dipersedikit (hartamu) oleh Dzat Yang Memiliki Arsy."

Aduhai, alangkah kuat jaminan dan karunia Allah bagi orang yang berinfak di jalanNya! Apakah Dzat Yang Memiliki Arsy akan menghinakan orang yang berinfak di jalan-Nya, sehingga ia mati karena miskin dan tak punya apa-apa? Demi Allah, tidak akan demikian!

Al-Mulla Ali-AlQari menjelaskan kata " ������� ��� " dalam hadits tersebut berkata, "Maksudnya, dijadikan miskin dan tidak punya apa-apa". Artinya, "Apakah engkau takut akan disia-siakan oleh Dzat Yang Mengatur segala urusan dari langit ke bumi?" Dengan kata lain, "Apakah kamu takut untuk digagalkan cita-citamu dan disedikitkan rizkimu oleh Dzat Yang rahmatNya meliputi penduduk langit dan bumi, orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, burung-burung dan binatang melata?"

6. Berapa banyak bukti-bukti dalam kitab-kitab Sunnah (Hadits), Sirah (Perjalanan Hidup), Tarajum (Biografi), Tarikh (Sejarah), bahkan hingga dalam kenyataan-kenyataan yang kita alami saat ini yang menunjukkan bahwa Allah mengganti rizki hambaNya yang berinfak di jalanNya.

Berikut ini kami ringkaskan satu bukti dalam masalah ini. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda:

"Ketika seorang laki-laki berada di suatu tanah lapang bumi ini, tiba-tiba ia mendengar suara dari awan, 'Sira-milah kebun si fulan!' Maka awan itu berarak menjauh dan menuangkan airnya di areal tanah yang penuh de-ngan batu-batu hitam. Di sana ada aliran air yang me-nampung air tersebut. Lalu orang itu mengikuti kemana air itu mengalir. Tiba-tiba ia (melihat) seorang laki-laki yang berdiri di kebunnya. Ia mendorong air tersebut dengan skopnya (ke dalam kebunnya). Kemudian ia bertanya, 'Wahai hamba Allah! Siapa namamu?' Ia menjawab, 'Fulan', yakni nama yang didengar di awan. Ia balik bertanya, "Wahai hamba Allah, kenapa engkau menanyakan namaku?' Ia menjawab, 'Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang menurunkan air ini. Suara itu berkata, 'Siramilah kebun si fulan! Dan itu adalah namamu. Apa sesungguhnya yang engkau laku-kan?' Ia menjawab, "Jika itu yang engkau tanyakan, maka sesungguhnya aku memperhitungkan hasil yang didapat dari kebun ini, lalu aku bersedekah dengan se-pertiganya, dan aku makan beserta keluargaku seper-tiganya lagi, kemudian aku kembalikan (untuk menanam lagi) sepertiganya'."

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Dan aku jadikan sepertiganya untuk orang-orang miskin dan peminta-minta serta ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan)."

Imam An-Nawawi berkata: "Hadits itu menjelaskan ten-tang keutamaan bersedekah dan berbuat baik kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Juga keutamaan seseorang yang makan dari hasil kerjanya sen-diri, termasuk keutamaan memberi nafkah kepada keluar-ga."



Pasal Kedelapan :
MEMBERI NAFKAH KEPADA ORANG YANG SEPENUHNYA MENUNTUT ILMU SYARI'AT (AGAMA)



Termasuk kunci-kunci rizki adalah memberi nafkah ke-pada orang yang sepenuhnya menuntut ilmu syari'at (agama). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Anas bin Malik bahwasanya ia berkata:

"Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah . Salah seorang daripadanya mendatangi Nabi dan (saudaranya) yang lain bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Nabi maka beliau bersabda: Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia."

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia menje-laskan kepada orang yang mengadu kepadanya karena kesi-bukan saudaranya dalam menuntut ilmu agama, sehingga membiarkannya sendirian mencari penghidupan (bekerja), bahwa ia tidak semestinya mengungkit-ungkit nafkahnya ke-pada saudaranya, dengan anggapan bahwa rizki itu datang karena dia bekerja. Padahal ia tidak tahu bahwasanya Allah membukakan pintu rizki untuknya karena sebab nafkah yang ia berikan kepada suadaranya yang menuntut ilmu agama secara sepenuhnya.

Al-Mulla Ali Al-Qari menjelaskan sabda Nabi :

"Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia," yang menggunakan shighat majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata, 'Yakni, aku berharap atau aku ta-kutkan bahwa engkau sebenarnya diberi rizki karena berkah-nya. Dan bukan berarti di diberi rizki karena pekerjaanmu. Oleh sebab itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaan-mu kepadanya."

Al-Alamah Ath-Thaibi berkata: "Makna '�������' (mudah-mudahan) dalam sabda beliau '���������' (mudah-mudahan engkau), bisa kembali kepada Rasulullah , sehingga ber-fungsi untuk memberikan kepastian (bahwa dia mendapat-kan rizki karena berkah saudaranya) dan menegur (bahwa dia mendapatkan rizki bukan karena pekerjaannya). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"Bukanlah kalian diberi rizki karena sebab orang-orang lemah di antara kalian?" Tetapi bisa pula kembali kepada orang yang diajaknya bicara untuk mengajakanya berfikir dan merenungkan, sehingga ia menjadi sadar."

Demikianlah, dan sebagian ulama telah menyebutkan bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu agama secara sepenuhnya adalah termasuk kelompok orang yang dising-gung dalam firman Allah:

"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (beru-saha) di muka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari me-minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 273).

Imam Al-Ghazali berkata: "Ia harus mencari orang yang tepat untuk mendapatkan sedekahnya. Misalnya para ahli ilmu. Sebab hal itu merupakan bantuan baginya untuk (mempelajari) ilmunya. Ilmu adalah jenis ibadah yang paling mulia, jika niatnya benar. Ibnu Al-Mubarak senantiasa mengkhususkan kebaikan (pemberiannya) bagi para ahli ilmu. Ketika dikatakan kepada beliau, "Mengapa tidak eng-kau berikan pada orang secara umum?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya aku tidak mengetahui suatu kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para ulama. Jika hati para ulama itu sibuk mencari kebutuhan (hidupnya), niscaya ia tidak bisa memberi perhatian sepe-nuhnya kepada ilmu, serta tidak akan bisa belajar (dengan baik). Karena itu, membuat mereka bisa mempelajari ilmu secara sepenuhnya adalah lebih utama."


Pasal Kesembilan :
BERBUAT BAIK KEPADA ORANG-ORANG LEMAH


Termasuk di antara kunci-kunci rizki adalah berbuat baik kepada orang-orang miskin. Nabi menjelaskan bahwa para hamba itu ditolong dan diberi rizki disebabkan oleh orang-orang yang lemah di antara mereka.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Mush'ab bin Sa-'dan ia berkata, 'Bahwasanya Sa'dan merasa dirinya memiliki kelebihan daripada orang lain. Maka Rasulullah bersabda:

"Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki lantaran orang-orang lemah di antara kalian?"

Karena itu, siapa yang ingin ditolong Allah dan diberi rizki olehNya maka hendaknya ia memuliakan orang-orang lemah dan berbuat baik kepada mereka."

Nabi yang mulia, juga menjelaskan bahwa keridhaan-nya dapat diperoleh dengan berbuat baik kepada orang-orang miskin.

Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Darda' bahwasanya ia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:

"Carilah (keridhaan)ku melalui orang-orang lemah di antara kalian. Karena sesungguhnya kalian diberi rizki dan ditolong dengan sebab orang-orang lemah di antara kalian."

Menjelaskan sabda Nabi di atas Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, "Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang miskin di antara kalian."

Dan barangsiapa berusaha mendapatkan keridhaan keka-sih Yang Maha Memberi rizki dan Maha Memiliki kekuatan dan keperkasaan, Muhammad dengan berbuat kepada orang-orang miskin, niscaya Tuhannya akan menolongnya dari para musuh serta akan memberinya rizki.



Pasal Kesepuluh :
HIJRAH DI JALAN ALLAH


Allah menjadikan hijrah di jalan Allah sebagai kunci di antara kunci-kunci rizki. Saya akan membicarakan masalah ini �dengan memohon taufik Allah� melalui dua poin berikut ini:

a. Makna hijrah di jalan Allah .
b. Dalil syar'i bahwa hijrah di jalan Allah termasuk kunci rizki.

A. MAKNA HIJRAH DI JALAN ALLAH

�������� ������ (hijrah) sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah keluar dari negeri kafir kepada negeri iman, sebagaimana para sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah.

Dan hijrah di jalan Allah itu, sebagaimana dikatakan oleh Sayid Muhammad Rasyid Ridha harus dengan sebenar-benarnya. Artinya, maksud orang yang berhijrah dari negeri-nya itu adalah untuk mendapatkan ridha Allah dengan mene-gakkan agamaNya yang ia merupakan kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang dicintai Allah, juga untuk me-nolong saudara-saudaranya yang beriman dari permusuhan orang-orang kafir.

B. Dalil Syar'i Bahwa Hijrah di Jalan Allah Termasuk Kunci Rizki

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa berhijrah di jalan Allah termasuk kunci rizki adalah firman Allah:
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak." (An-Nisa': 100).

Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah akan mendapati dua hal: Pertama, ���������� ��������� kedua, ������.

Yang dimaksud ���������� sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Razi adalah, barangsiapa berhijrah di jalan Allah ke negeri lain, niscaya akan mendapati di negerinya yang baru itu kebaikan dan kenikmatan yang menjadi sebab kehinaan dan kekecewaan para musuhnya yang berada di negeri asal-nya. Sebab orang yang memisahkan diri dan pergi ke negeri asing, sehingga mendapatkan ketentraman di sana, lalu berita itu sampai kepada negeri asalnya, niscaya penduduk asli negeri itu akan malu atas buruknya mua'amalah (perlakuan) yang mereka berikan, sehingga dengan demikian mereka merasa hina.'

Sedang yang dimaksud, ������ (keluasan), yaitu keluasan rizki. Inilah yang dikatakan oleh Abdullah bin Abbas dalam menafsirkan ayat ini. Juga dikatakan oleh Ar-Rabi', Adh-Dhakkak, Atha' dan mayoritas ulama.

Qatadah berkata: "Maknanya, keluasan dari kesesatan kepada petunjuk dan dari kemiskinan kepada banyaknya kekayaan."
Imam Malik berkata: "Keluasan yang dimaksud adalah keluasan negeri."

Mengomentari ketiga pendapat di atas, Imam Al-Qurthubi mengatakan: "Pendapat Imam Malik lebih dekat pada kefasihan ungkapan bahasa Arab. Sebab keluasan ne-geri dan banyaknya bangunan menunjukkan keluasan rizki. Juga menunjukkan kelapangan dada yang siap menanggung kesedihan dan pikiran serta hal-hal lain yang menunjukkan kemudahan."

Pendapat mana saja yang kita ambil dari ketiga pendapat di atas, yang jelas semuanya menunjukkan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah akan mendapatkan janji dari Allah berupa keluasan rizki, baik dengan ungkapan langsung maupun secara tidak langsung.

Dan sungguh janji Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Menentukan adalah suatu janji yang haq serta tidak pernah luput. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah?

Sungguh dunia telah dan sampai sekarang masih menyak-sikan kebenaran janji ini. Dan saya kira, orang yang menge-tahui sedikit tentang sejarah Islam pun sudah tahu akan peristiwa hijrahnya para sahabat Rasulullah ke Madinah.

Ketika para sahabat meninggalkan rumah-rumah, harta benda dan kekayaan mereka untuk hijrah di jalan Allah , Allah serta merta mengganti semuanya. Allah memberikan kepada mereka kunci-kunci negeri Syam, Persia dan Yaman. Allah berikan kepada mereka kekuasaan atas istana-istana negeri Syam yang merah, juga istana Mada'in yang putih. Kepada mereka juga dibukakan pintu-pintu Shan'a, serta ditundukkan untuk mereka berbagai simpanan kekayaan Kaisar dan Kisra.

Imam Ar-Razi menjelaskan kesimpulan tafsir ayat yang mulia ini berkata: "Walhasil, seakan-akan dikatakan, 'Wahai manusia! Jika kamu membenci hijrah dari tanah airmu hanya karena takut mendapatkan kesusahan dan ujian dalam per-jalananmu, maka sekali-kali jangan takut! Karena sesung-guhnya Allah akan memberimu berbagai nikmat yang agung dan pahala yang besar dalam hijrahmu. Hal yang ke-mudian menyebabkan kehinaan musuh-musuhmu dan men-jadi sebab bagi kelapangan hidupmu."

PENUTUP


Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi hamba-Nya yang lemah ini sehingga bisa menyelesaikan tulisannya. Dan sungguh kepadaNya senantiasa diminta ampunan, ke-murahan dan ijabah (pengabulan).

Dari tulisan ini dapat dirumuskan beberapa poin berikut ini:

1. Allah Yang Maha Agung dan Maha Perkasa menja-dikan beberapa sebab dan kunci untuk rizki, di antaranya:

1.

Istighfar (memohon ampun kepada Allah) dan taubat kepadaNya. Dan yang dimaksud adalah melakukan ke-duanya dengan perkataan dan perbuatan.
2.

Taqwa. Dan hakikatnya adalah menjaga diri dari yang menyebabkan dosa atau mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya atau menjaga diri dari sesuatu yang menyebabkan siksa, baik dengan mela-kukan perbuatan atau meninggalkannya.
3.

Tawakkal. Yaitu menampakkan kelamahan hamba serta bersandar sepenuhnya kepada Allah semata.
4.

Beribadah sepenuhnya kepada Allah . Yaitu bersungguh-sungguh dalam mengkonsentrasikan hati ketika beribadah kepada Allah .
5.

Mengikuti haji dengan umrah. Maksudnya, melakukan salah satunya lalu melanjutkannya dengan yang lain.
6.

Silaturrahim. Yaitu berbuat baik kepada kerabat/keluarga dekat.
7.

Berinfak di jalan Allah . Yaitu berinfak untuk se-suatu yang dicintai dan diridhai Allah .
8.

Memberi nafkah kepada orang yang sepenuhnya me-nuntut ilmu syar'i (agama).
9.

Berbuat baik kepada orang-orang yang lemah.
10.

Berhijrah di jalan Allah . Yakni keluar dari negeri kafir ke negeri iman untuk mencari keridhaan Allah se-suai dengan syar'iatNya.

2. Istighfar dan taubat itu wajib dengan perkataan dan perbuatan. Sebab ber-istighfar dan bertaubat dengan lisan saja tanpa perbuatan, maka itu adalah perilaku para pendus-ta. Sebagaimana taqwa itu harus dengan menjaga diri dari berbuat maksiat kepada Allah, mentaati perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-laranganNya. Dan sungguh pengakuan semata, itu sama sekali tidak bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat.

3. Bertawakkal dan beribadah sepenuhnya kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha untuk mencari penghi-dupan.

4. Silaturrahim itu tidak saja terbatas dalam hal harta, tetapi menyambung (memberikan) apa yang mungkin diberi-kan dari kebaikan kepada keluarga dekat, serta menolak bahaya dari mereka sesuai dengan kemampuan. Dan sila-turrahim dengan ahli maksiat tidaklah menuntut adanya kecintaan, kasih sayang dan berpura-pura dengan mereka. Tetapi sialturrahim dengan mereka adalah berusaha meng-halangi mereka dari melakukan kemaksiatan.

Kemudian saya wasiatkan kepada suadara-saudaraku di segenap penjuru dunia untuk tetap berpegang teguh dengan sebab-sebab rizki tersebut. Sebab kebaikan segala-galanya adalah dengan berpegang teguh terhadap apa yang disyari-'atkan Sang Pencipta dan keburukkan segala-galanya adalah dengan berpaling daripadanya. Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepadaNya-lah kamu akan dikumpulkan." (Al-Anfal: 24).

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, 'Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, pada-hal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?' Allah berfirman, 'Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan." (Thaha: 124-126).

Semoga shalawat, salam dan keberkahan dilimpahkan kepada Nabi kita, kepada segenap keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Kemudian akhir dari do'a kita adalah: "Alham-dulillahi Rabbil 'Alamin". (segala puji bagi Allah, Rabb se-mesta alam).


MARAJI' ( SUMBER BACAAN )

1.

Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Amir Ala'uddin Al-Farisi, Mu'assasah Ar-Risalah, Beirut, cet. I 1408H., tahqiq Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth.
2.

Ahkamul Qur'an, Imam Abu Bakr Ibnul Arabi, Darul Ma'rifah Beirut, tanpa tahun, tahqiq Ustadz Ali Muham-mad Al-Bajawi.
3.

Ihya' Ulumid Din, Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Darul Ma'rifah Beirut, tahun 1403H
4.

Al-Adabul Mufrad, Imam Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Alamul Kutub Beirut, cet. II 1405H, tartib dan kata pengantar Ustdaz Kamal Yusuf Al-Khut.
5.

Adhwa'ul Bayan fi Idhahil Qur'an bil Qur'an, Al-Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, dicetak atas dana Pangeran Ahmad bin Abdil Aziz Ali Su'ud, tahun 1403H.
6.

Aisarut Tafasir, Syaikh Abu Bakar Al-Jaza'iri, cet. 1407 H.
7.

Tahriru Alfadhit Tanbih/Lughatul Fiqh, Imam Muhyid-din An-Nawawi, Darul Qalam Damaskus, cet. I 1408 H, tahqiq Ustadz Abdul Ghani Ad-Daqr.
8.

Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami'it Tirmidzi, Syaikh Abdur-rahman Al-Mubarak Furi, Darul Kutub Al-Ilmiah Beirut, cet. I 1410 H.
9.

Tafsirul Baghawi/Ma'alimut Tanzil, Imam Abu Muham-mad Al-Baghawi, Darul Ma'rifah Beirut, cet. I 1406 H, i'dad dan tahqiq Ustadz Khalid Abdurrahman Al-Ik dan Marwan Siwar.
10.

Tafsirut Tahrir wat Tanwir, Ustadz Muhammad Thahir Ibni Asyur, Ad-Darut Tunisiyah lin Nasyr Tunis,cet. 1984M.
11.

Tafsirul Khazin/Lubabut Ta'wil fi Ma'anit Tanzil, Al-Allamah Ala'uddin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan nama Al-Khazin, Darul Fikr Beirut, cet. 1399 H.
12.

Tafsir Abis Su'ud/Irsyadul Aql As-Salim ila Mazayal Qur'anil Karim, Al-Qadhi Abis Su'ud, Daru Ihya'it Turats Al-Arabi, tanpa tahun cetakan.
13.

Tafsir Ath-Thabari/Jami'ul Bayan min Ta'wili Ayil Qur'an, Imam Abu Ja'far Ath-Thabari, Darul Ma'arif Mesir, tanpa tahun cetakan, tahqiq Syaikh Mahmud Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir.
14.

Tafsir Al-Qasimi/ Mahasinut Ta'wil, Al-Allamah Mu-hammad Jamaluddin Al-Qasimi, Darul Fikr Beirut, cet. III 1398 H, tahqiq Syaikh Muhammad Fu'ad Abdul Baqi.
15.

Tafsir Al-Qurthubi/Al-Jami'li Ahkamil Qur'an, Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi, Dar Ihya'it Turats Al-Arabi, tanpa tahun cetakan.
16.

At-Tafsirul Qayyim, Imam Ibnul Qayyim, Darul Fikr Beirut, cet. 1408 H, dikumpulkan oleh Syaikh Muham-mad Uwais An-Nadawi, tahqiq Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqi.
17.

At-Tafsirul Kabir/Mafatihul Ghaib, Imam Fakhruddin Ar-Razi, Darul Kutub Al-Ilmiah Teheran, cet. II, tanpa tahun cetakan.
18.

Tafsir Ibni Katsir/Tafsirul Qur'anil Azhim, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Darul Faiha' Damaskus dan Darussalam Riyadh, cet. I 1413 H, Pengantar Syaikh Abdul Qadir Al-Arna'uth.
19.

Tafsir Ibni Mas'ud , i'dad Ustadz Muhammad Ah-mad Isawi, Mu'assasah Al-Malik Faishal Al-Khairiyah, cet. I 1405 H.
20.

Tafsir Al-Manar, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Darul Ma'rifah Beirut, cet. II, tanpa tahun cetakan.
21.

At-Talkhis (dicetak bersama Al-Mustadrak Alash Sha-hihain), Al-Hafizh Adz-Dzahabi, Darul Kitab Al-Arabi Beirut, tanpa tahun cetakan.
22.

Tanqihur Ruwat fi Takhriji Ahaditsil Misykat, Syaikh Ahmad Hasan Ad-Dahlawi, Al-Majlisul Ilmi As-Salafi Lahore, tanpa tahun cetakan.
23.

Jami'ut Tirmidzi (dicetak bersama Tuhfatul Ahwadzi), Imam Abu Isa Muhammad bin Isa, Darul Kutub Al-Ilmiah Beirut, cet. I 1410 H.
24.

Hasyiatul Imam As-Sindi Ala Sunanin Nasa'i, Syaikh Abul Hasan As-Sindi, Darul Fikr Beirut, cet. 1348 H.
25.

Ruhul Ma'ani, Al-Allamah Mahmud Al-Alusi, Dar Ihya'it Turats Al-Arabi Beirut, cet. IV 1405 H.
26.

Zadul Masir fi Ilmit Tafsir, Imam Ibnul Jauzi, Al-Maktab Al-Islami Beirut, cet. I 1984 M.
27.

Riyadhus Shalihin, Imam An-Nawawi, Mu'assasah Ar-Risalah Beirut, cet. V 1405 H, tahqiq Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth.
28.

Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashruddin Al-Albani, Al-Maktabah Al-Islamiah Oman dan Ad-Darus Salafiah Kuwait, 1403 H.
29.

Sunan Abu Daud (dicetak bersama Aunul Ma'bud), Imam Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani, Darul Kutub Al-Ilmiah Beirut, cet. I 1410 H.
30.

Sunan Ibni Majah, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini Ibni Majah, Syirkah Ath-Thiba'ah Al-Arabiyah As-Su'udiyah, cet. II 1404 H, tahqiq Dr. Muhammad Musthafa Al-A'zhami.
31.

Sunan An-Nasa'i (dicetak bersama Syarh As-Suyuthi wa Hasyiah As-Sindi), Imam Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu'aib An-Nasa'i, Darul Fikr Beirut, cet. I 1348 H.
32.

Syarhus Sunnah, Imam Al-Baghawi, Al-Maktab Al-Islami Beirut, cet. I 1390 H, tahqiq Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth dan Zuhair Asy-Syawish.
33.

Syarh Nawawi ala Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, Darul Fikr Beirut, 1401 H.
34.

Shahihul Bukhari (dicetak bersama Fathul Bari), Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Ar-Ri'asah Al-Ammah lil Idarat Al-Buhuts Al-Ilmiah wa Ifta' wad Dakwah wal Irsyad Riyadh, tanpa tahun cetakan.
35.

Shahih Ibni Khuzaimah, Imam Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Al-Maktab Al-Islami Beirut, tanpa tahun cetakan, tahqiq Dr. Muhammad Musthafa Al-A'zhami.
36.

Shahih Sunan At-Tirmidzi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Maktab At-Tarbiyah Al-Arabi lil Duwalil Khalij Riyadh, cet. I 1409 H.
37.

Shahih Sunan Abu Daud, Syaikh Muhammad Nashi-ruddin Al-Albani, Maktab At-Tarbiyah Al-Arabi li Duwalil Khalij Riyadh, cet. I 1409 H.
38.

Shahih Sunan Ibni Majah, Syaikh Muhammad Nashi-ruddin Al-Albani, Maktab At-Tarbiyah Al-Arabi li Duwalil Khalij, cet. III 1408 H.
39.

Shahih Sunan An-Nasa'i, Syaikh Muhammad Nashi-ruddin Al-Albani, Maktab At-Tarbiyah Al-Arabi li Duwalil Khalij Riyadh, cet. I 1409 H.
40.

Shahih Muslim, Imam Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi, Ar-Ri'asah Al-Ammah lil Idarat Al-Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta' wad Dakwah wal Irsyad Riyadh, cet. 1400 H, tahqiq Syaikh Muhammad Fu'ad Abdul Baqi.
41.

Dha'ifu Sunan Abi Daud, Syaikh Muhammad Nashi-ruddin Al-Albani, Al-Maktab Al-Islami Beirut, cet. I 1412 H.
42.

Umdatul Qari' Syarh Shahihil Bukhari, Al-Allamah Badruddin Al-Aini, Darul Fikr Beirut, tanpa tahun cetakan.
43.

Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abu Daud, Al-Allamah Abu Ath-Thayyib Al-Azhim Abadi, Darul Kutub Al-Ilmiah Beirut, cet. I 1410 H.
44.

Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, Al-Hafizh ibnu Hajar, Ar-Ri'asah Al-Ammah lil Idarat Al-Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta' wad Dakwah wal Irsyad Riyadh, tanpa tahun cetakan.
45.

Fathul Qadir, Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Al-Maktabah At-Tijariah Makkah Al-Mukarramah, catatan kaki Ust. Sa'id Muhammad Al-Lahham, tanpa tahun cetakan.
46.

Faidhul Qadir Syarh Al-Jami'ush Shaghir, Al-Allamah Muhammad yang dipanggil dengan Abdur Ra'uf Al-Manawi, Darul Ma'rifah Beirut, tanpa tahun cetakan.
47.

Al-Qamusul Muhith, Al-Allamah Majduddin Al-Fairuz Abadi, Al-Mu'assasah Al-Arabiyah lith Thiba'ah wan Nasyr Beirut, tanpa tahun cetakan.
48.

Kitabut Ta'rifat, Al-Allamah Al-Jurjani, Maktabah Lubnan Beirut, 1985 M.
49.

Kitab Az-Zuhd, Imam Abdullah Ibnu Mubarak, Darul Kutub Al-Ilmiah Beirut, tahqiq Syaikh Habibur Rahman Al-A'zhami, tanpa tahun cetakan.
50.

Kitabus Sunan Al-Kubra, Imam Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu'aib An-Nasa'i, Darul Kutub Al-Ilmiah Beirut, cet. I 1411 H, tahqiq Dr. Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari dan Sayid Karwi Hasan.
51.

Kitabun Nazhar wal Ahkam fi Jami'i Ahwalis Suuq, Imam Yahya bin Umar Al-Andalusi, Asy-Syirkah At-Tunisiah lit Tauzi', cet. 1975 M.
52.

Al-Kasysyaf 'an Haqa'iqit Tanzil wa 'Uyunil Aqawil fi Wujuhit Ta'wil, Al-Allamah Abul Qasim Az-Zamahsyari, Darul Ma'rifah Beirut, tanpa tahun cetakan.
53.

Kasyful Khafa' wa Muzilul Ilbas, Syaikh Ismail bin Muhammad Al-'Ajwali, Mu'assasah Ar-Risalah Beirut, cet. IV 1405 H, tashhih Ust. Ahmad Al-Qalasy.
54.

Majma'uz Zawa'id wa Manba'ul Fawa'id, Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami, Darul Kitab Al-Arabi Beirut, cet. III, 1402 H.
55.

Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsiril Kitab Al-Aziz, Al-Qadhi Ibnu Athiyyah Al-Andalusi, tahqiq Al-Majlis Al-Ilmi bi Fas, tanpa penerbit dan tahun cetakan.
56.

Al-Mustadrak Alash Shahihain, Imam Abu Abdillah Al-Hakim, Darul Kitab Al-Arabi Beirut, tanpa tahun cetakan.
57.

Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hambal, Darul Ma'arif lith Thiba'ah wan Nasyr Mesir, cet. III, tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hambal, Al-Maktab Al-Islami Beirut).
58.

Musnad Asy-Syihab, Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Salamah Al-Qadha'i, Mu'assasah Ar-Risalah Beirut, cet. II 1407 H, tahqiq Syaikh Hamdi Abdul Majid As-Salafi.
59.

Misykatul Mashabih, Syaikh Muhammad Abdullah Al-Hathib At-Tibrizi, Al-Maktab Al-Islami Beirut, cet. II 1399 H, tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
60.

Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, Imam Raghib Al-Ashfahani, Darul Ma'rifah Beirut, tahqiq Ust. Sayid Kailani, tanpa tahun cetakan.
61.

Nuzhatun Nazhar fi Taudhihi Nukhbatil Fikar, Al-Hafizh Ibnu Hajar, Penerbit Qur'an Mahal Karachi, tanpa tahun cetakan.
62.

An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, Imam Ibnul Atsir, Al-Maktabah Al-Islamiyah Beirut, tahqiq Ust. Thahir Ahmad Az-Zawi dan Dr. Muhammad Ath-Thanaji.
63.

Hamisyul Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth, Mu'assasah Ar-Risalah Beirut, cet. I 1408 H.
64.

Hamisyul Musnad, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Darul Ma'arif lith Thiba'ah wan Nasyr Mesir, cet. III.
65.

Hamisy Misykatil Mashabih, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktab Al-Islami Beirut, cet. III 1399 H.


Harap Cantumkan Dicopy dari :

Website �Yayasan Al-Sofwa�
Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta - Selatan (12610)
Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26
www.alsofwah.or.id ; E-mail: info@alsofwah.or.id

Dilarang Keras Memperbanyak Buku ini untuk diperjual belikan !!!

ISLAMIC MEDIA
ISLAMIC.XTGEM.COM
countreg.com
INDEX UTAM